Jumat, 31 Desember 2010

UU 41 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional;
c. bahwa negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
d. bahwa makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;

e. bahwa . . . - 2 -
e. bahwa sesuai dengan pembaruan agraria yang berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria perlu perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN.

BAB I . . . - 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.

2. Lahan Pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian.
3. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
4. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang.

5. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.

6. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

7. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

8. Pertanian . . . - 4 -

8. Pertanian Pangan adalah usaha manusia untuk mengelola lahan dan agroekosistem dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan serta kesejahteraan rakyat.

9. Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.

10. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

11. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

12. Petani Pangan, yang selanjutnya disebut Petani, adalah setiap warga negara Indonesia beserta keluarganya yang mengusahakan Lahan untuk komoditas pangan pokok di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

13. Pangan Pokok adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik nabati maupun hewani, yang diperuntukkan sebagai makanan utama bagi konsumsi manusia.

14. Setiap Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.

15. Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.

16. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

17. Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian.


18. Pemerintah . . . - 5 -

18. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

19. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

20. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan pertanian.

21. Pusat Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah pusat yang menyelenggarakan sistem informasi serta administrasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada lembaga pemerintah yang berwenang di bidang pertanahan.

22. Tanah Telantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

23. Bank Bagi Petani adalah badan usaha yang sekurang-kurangnya berbentuk lembaga keuangan mikro dengan sumber pembiayaan yang diprioritaskan berupa dana Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai stimulan, dana tanggung jawab sosial dan lingkungan badan usaha, serta dana masyarakat dalam rangka meningkatkan permodalan bank untuk kesejahteraan petani.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat;

b. keberlanjutan dan konsisten;

c. keterpaduan . . . - 6 -

c. keterpaduan;
d. keterbukaan dan akuntabilitas;
e. kebersamaan dan gotong-royong;
f. partisipatif;
g. keadilan;
h. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
i. kelestarian lingkungan dan kearifan lokal;
j. desentralisasi;
k. tanggung jawab negara;
l. keragaman; dan
m. sosial dan budaya.

Pasal 3
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan:
a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
d. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;
e. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat;
f. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;
g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak;
h. mempertahankan keseimbangan ekologis; dan
i. mewujudkan revitalisasi pertanian.

Pasal 4 . . . - 7 -
Pasal 4
Ruang lingkup Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi:
a. perencanaan dan penetapan;
b. pengembangan;
c. penelitian;
d. pemanfaatan;
e. pembinaan;
f. pengendalian;
g. pengawasan;
h. sistem informasi;
i. perlindungan dan pemberdayaan petani;

j. pembiayaan; dan
k peran serta masyarakat.
Pasal 5
Lahan Pertanian Pangan yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat berupa:
a. lahan beririgasi;
b. lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan/atau

c. lahan tidak beririgasi.
BAB III
PERENCANAAN DAN PENETAPAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan terhadap Lahan Pertanian Pangan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan.

Pasal 7 . . . - 8 -
Pasal 7
(1) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan berada pada Kawasan Perdesaan dan/atau pada kawasan perkotaan di wilayah kabupaten/kota.

(2) Wilayah kegiatan selain kegiatan pertanian pangan berkelanjutan di dalam kawasan pertanian pangan ditetapkan dengan memperhitungkan luas kawasan dan jumlah penduduk.

Pasal 8
Dalam hal di wilayah kota terdapat lahan pertanian pangan, lahan tersebut dapat ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk dilindungi.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 9
(1) Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
(2) Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan pada:
a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan
c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
(3) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada:
a. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk;
b. pertumbuhan produktivitas;
c. kebutuhan pangan nasional;

d. kebutuhan . . . - 9 -
d. kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan;
e. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
f. musyawarah petani.
(4) Perencanaan kebutuhan dan ketersediaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, dilakukan terhadap lahan pertanian pangan yang sudah ada dan lahan cadangan.
(5) Lahan pertanian pangan yang sudah ada dan lahan cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan atas kriteria:
a. kesesuaian lahan;
b. ketersediaan infrastruktur;
c. penggunaan lahan;
d. potensi teknis lahan; dan/atau
e. luasan kesatuan hamparan lahan.

Pasal 10
(1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dijadikan dasar untuk menyusun prediksi jumlah produksi, luas baku lahan, dan sebaran lokasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta kegiatan yang menunjang.

(2) Perencanaan jumlah produksi merupakan perencanaan besarnya produksi berbagai jenis Pangan Pokok pada periode waktu tertentu di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

(3) Perencanaan luas dan sebaran lokasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan perencanaan mengenai luas lahan cadangan, luas lahan yang ada, dan intensitas pertanaman pertanian pangan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.


Pasal 11 . . . - 10 -
Pasal 11
(1) Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan disusun baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.

(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. perencanaan jangka panjang;
b. perencanaan jangka menengah; dan
c. perencanaan tahunan.

Pasal 12
(1) Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan nasional menjadi acuan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi dan kabupaten/kota.

(2) Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi menjadi acuan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan kabupaten/kota.

Pasal 13
(1) Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan jangka panjang dan jangka menengah memuat analisis dan prediksi, sasaran, serta penyiapan luas lahan cadangan dan luas lahan baku.

(2) Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tahunan memuat sasaran produksi, luas tanam dan sebaran, serta kebijakan dan pembiayaan.

Pasal 14
(1) Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diawali dengan penyusunan usulan perencanaan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

(2) Perencanaan usulan Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan berdasarkan:

a. inventarisasi . . . - 11 -

a. inventarisasi;
b. identifikasi; dan
c. penelitian.

Pasal 15
(1) Usulan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disebarkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan dan saran perbaikan.

(2) Tanggapan dan saran perbaikan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pertimbangan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(3) Usulan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat diajukan oleh masyarakat untuk dimusyawarahkan dan dipertimbangkan bersama pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten/kota.

Pasal 16
(1) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a merupakan pendataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, atau pengelolaan hak atas tanah pertanian pangan.

(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengedepankan prinsip partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bagian Ketiga
Penetapan
Pasal 17
Penetapan Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tahunan baik nasional melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP), provinsi, maupun kabupaten/kota.

Pasal 18 . . . - 12 -
Pasal 18
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan penetapan:
a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan
c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasal 19
(1) Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang Kawasan Perdesaan di wilayah kabupaten dalam rencana tata ruang kabupaten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar peraturan zonasi.

Pasal 20
(1) Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b merupakan bagian dari penetapan dalam bentuk rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.

Pasal 21
Penetapan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c merupakan bagian dari penetapan dalam bentuk rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22 . . . - 13 -
Pasal 22
(1) Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan nasional yang sudah ditetapkan menjadi acuan penyusunan perencanaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi dan kabupaten/kota.

(2) Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi yang sudah ditetapkan menjadi acuan penyusunan perencanaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan kabupaten/kota.

Pasal 23
(1) Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

(2) Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi diatur dalam Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang wilayah provinsi.

(3) Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

(4) Penetapan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24
(1) Dalam hal suatu Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan tertentu memerlukan perlindungan khusus, kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional.

(2) Perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. luas kawasan pertanian pangan;
b. produktivitas kawasan pertanian pangan;
c. potensi teknis lahan;


d. keandalan . . . - 14 -

d. keandalan infrastruktur; dan
e. ketersediaan sarana dan prasarana pertanian.

Pasal 25
(1) Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(2) Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada wilayah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar peraturan zonasi untuk pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota.

Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan kriteria penetapan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 25 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENGEMBANGAN
Pasal 27
(1) Pengembangan terhadap Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota, masyarakat dan/atau korporasi yang kegiatan pokoknya di bidang agribisnis tanaman pangan.

(3) Korporasi yang dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk koperasi dan/atau perusahaan inti plasma dengan mayoritas sahamnya dikuasai oleh warga negara Indonesia.

(4) Dalam . . . - 15 -

(4) Dalam hal pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan inventarisasi dan identifikasi.

Pasal 28
Intensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilakukan dengan:
a. peningkatan kesuburan tanah;
b. peningkatan kualitas benih/bibit;
c. pendiversifikasian tanaman pangan;
d. pencegahan dan penanggulangan hama tanaman;
e. pengembangan irigasi;
f. pemanfaatan teknologi pertanian;
g. pengembangan inovasi pertanian;
h. penyuluhan pertanian; dan/atau
i. jaminan akses permodalan.

Pasal 29
(1) Ekstensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilakukan dengan:
a. pencetakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
b. penetapan lahan pertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan/atau
c. pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(2) Ekstensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengembangan usaha agribisnis tanaman pangan.

(3) Pengalihan . . . - 16 -

(3) Pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terutama dilakukan terhadap Tanah Telantar dan tanah bekas kawasan hutan yang belum diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Tanah Telantar dapat dialihfungsikan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila:
a. tanah tersebut telah diberikan hak atas tanahnya, tetapi sebagian atau seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak; atau
b. tanah tersebut selama 3 (tiga) tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sejak tanggal pemberian hak diterbitkan.

(5) Tanah bekas kawasan hutan dapat dialihfungsikan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila:
a. tanah tersebut telah diberikan dasar penguasaan atas tanah, tetapi sebagian atau seluruhnya tidak dimanfaatkan sesuai dengan izin/keputusan/surat dari yang berwenang dan tidak ditindaklanjuti dengan permohonan hak atas tanah; atau
b. tanah tersebut selama 1 (satu) tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sesuai dengan izin/keputusan/surat dari yang berwenang.

(6) Tanah Telantar dan tanah bekas kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diadministrasikan oleh Pusat Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada lembaga yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertanahan.

(7) Kriteria penetapan, tata cara, dan mekanisme pengambilalihan serta pendistribusian Tanah Telantar untuk pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB V . . . - 17 -
BAB V
PENELITIAN
Pasal 30
(1) Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan dukungan penelitian.

(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

(3) Penelitian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. pengembangan penganekaragaman pangan;
b. identifikasi dan pemetaan kesesuaian lahan;
c. pemetaan zonasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
d. inovasi pertanian;
e. fungsi agroklimatologi dan hidrologi;
f. fungsi ekosistem; dan
g. sosial budaya dan kearifan lokal.

(4) Lembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi berperan serta dalam penelitian.

Pasal 31
Penelitian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan terhadap Lahan yang sudah ada maupun terhadap lahan cadangan untuk ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pasal 32
Hasil penelitian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan informasi publik yang dapat diakses oleh petani dan pengguna lainnya melalui Pusat Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI . . . - 18 -
BAB VI
PEMANFAATAN
Pasal 33
(1) Pemanfaatan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan menjamin konservasi tanah dan air.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konservasi tanah dan air, yang meliputi:
a. perlindungan sumber daya lahan dan air;
b. pelestarian sumber daya lahan dan air;
c. pengelolaan kualitas lahan dan air; dan
d. pengendalian pencemaran.

(3) Pelaksanaan konservasi tanah dan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34
(1) Setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berkewajiban:
a. memanfaatkan tanah sesuai peruntukan; dan
b. mencegah kerusakan irigasi.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berperan serta dalam:
a. menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah;
b. mencegah kerusakan lahan; dan
c. memelihara kelestarian lingkungan.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Setiap . . . - 19 -

(5) Setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menimbulkan akibat rusaknya lahan pertanian, wajib untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 35
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan:
a. pembinaan setiap orang yang terikat dengan pemanfaatan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan
b. perlindungan terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. koordinasi perlindungan
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultas
d. pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat;
e. penyebarluasan informasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;da
f. peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII . . . - 20 -
BAB VIII
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
(1) Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan secara terkoordinasi.

(2) Pemerintah menunjuk Menteri untuk melakukan koordinasi pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 37
Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian:
a. insentif;
b. disinsentif;
c. mekanisme perizinan;
d. proteksi; dan
e. penyuluhan.

Bagian Kedua
Insentif dan Disinsentif
Pasal 38
Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a diberikan kepada petani berupa:
a. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan;
b. pengembangan infrastruktur pertanian;
c. pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul;

d. kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi;

e. penyediaan . . . - 21 -

e. penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian;
f. jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik; dan/atau
g. penghargaan bagi petani berprestasi tinggi.

Pasal 39
(1) Pemerintah dapat memberikan insentif dalam bentuk pengalokasian anggaran secara khusus atau bentuk lainnya kepada pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah daerah provinsi dapat memberikan insentif dalam bentuk pengalokasian anggaran secara khusus atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a dan Pasal 38 diberikan dengan mempertimbangkan:
a. jenis Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
b. kesuburan tanah;
c. luas tanam;
d. irigasi;
e. tingkat fragmentasi lahan;
f. produktivitas usaha tani;
g. lokasi;
h. kolektivitas usaha pertanian; dan/atau
i. praktik usaha tani ramah lingkungan.
Pasal 41
Selain insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan Pasal 40, Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan insentif lainnya sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pasal 42 . . . - 22 -
Pasal 42
Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b berupa pencabutan insentif dikenakan kepada petani yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 diatur dalam Peraturan Pemerintah
Bagian Ketiga
Alih Fungsi
Pasal 44
(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

(2) Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
a. dilakukan kajian kelayakan strategis;
b. disusun rencana alih fungsi lahan;
c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
d. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.

(4) Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan.

(5) Penyediaan . . . - 23 -

(5) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan.

(6) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45
Selain ganti rugi kepada pemilik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (6), pihak yang mengalihfungsikan wajib mengganti nilai investasi infrastruktur.
Pasal 46
(1) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf d dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan beririgasi;
b. paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan
c. paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi.

(2) Penyediaan lahan pertanian pangan sebagai pengganti Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah harus dimasukkan dalam penyusunan Rencana Program Tahunan, Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) instansi terkait pada saat alih fungsi direncanakan.


(3) Penyediaan . . . - 24 -

(3) Penyediaan lahan pertanian pangan sebagai lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan:
a. pembukaan lahan baru pada Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
b. pengalihfungsian lahan dari nonpertanian ke pertanian sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, terutama dari tanah telantar dan tanah bekas kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2); atau
c. penetapan lahan pertanian sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(4) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan dilakukan dengan jaminan bahwa lahan pengganti akan dimanfaatkan oleh petani transmigrasi maupun nontransmigrasi dengan prioritas bagi petani yang lahannya dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Untuk keperluan penyediaan lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah melakukan inventarisasi lahan yang sesuai dan memelihara daftar lahan tersebut dalam suatu Pusat Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasal 47
Segala kewajiban yang harus dilakukan dalam proses penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 menjadi tanggung jawab pihak yang melakukan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pasal 48
Dalam hal terjadi keadaan memaksa yang mengakibatkan musnahnya dan/atau rusaknya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara permanen, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan penggantian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai kebutuhan.

Pasal 49 . . . - 25 -
Pasal 49
Lahan pengganti Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) ditetapkan dengan:
a. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam hal lahan pengganti terletak di dalam satu kabupaten/kota pada satu provinsi;
b. Peraturan Daerah Provinsi dalam hal lahan pengganti terletak di dalam dua kabupaten/kota atau lebih pada satu provinsi; dan
c. Peraturan Pemerintah dalam hal lahan pengganti terletak di dalam dua provinsi atau lebih.

Pasal 50
(1) Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2).

(2) Setiap orang yang melakukan alih fungsi tanah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengembalikan keadaan tanah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ke keadaan semula.

(3) Setiap orang yang memiliki Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat mengalihkan kepemilikan lahannya kepada pihak lain dengan tidak mengubah fungsi lahan tersebut sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasal 51
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat merusak irigasi dan infrastruktur lainnya serta mengurangi kesuburan tanah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(2) Setiap orang yang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan rehabilitasi.

Pasal 52 . . . - 26 -
Pasal 52
Menteri melakukan koordinasi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 51, yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga pemerintah yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang pertanahan.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihfungsian, nilai investasi infrastruktur, kriteria, luas lahan yang dialihfungsikan, ganti rugi pembebasan lahan dan penggantian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 54
(1) Untuk menjamin tercapainya Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan pengawasan terhadap kinerja:
a. perencanaan dan penetapan;
b. pengembangan;
c. pemanfaatan;
d. pembinaan; dan
e. pengendalian.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya.

Pasal 55
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 meliputi:
a. pelaporan;

b. pemantauan . . . - 27 -
b. pemantauan; dan
c. evaluasi.
Pasal 56
(1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a dilakukan secara berjenjang oleh:
a. pemerintahan desa/kelurahan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota;
b. pemerintah daerah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi; dan
c. pemerintah provinsi kepada Pemerintah.

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kinerja perencanaan dan penetapan, pengembangan, pembinaan dan pemanfaatan, serta pengendalian.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam laporan tahunan.

(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dalam laporan tahunan.

(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam laporan tahunan.

Pasal 57
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b dan huruf c dilakukan dengan mengamati dan memeriksa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dengan pelaksanaan di lapangan.


(2) Apabila . . . - 28 -

(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan, Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota wajib mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal bupati/walikota tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur wajib mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal gubernur tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri wajib mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penyimpangan dan tidak melakukan penyelesaian, gubernur memotong alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, serta Pemerintah memotong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi kabupaten/kota bersangkutan sebesar biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan penyelesaian.

(6) Dalam hal gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan penyimpangan dan tidak melakukan penyelesaian, Pemerintah memotong alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk provinsi dan kabupaten/kota bersangkutan sebesar biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan penyelesaian.

BAB X
SISTEM INFORMASI
Pasal 58
(1) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat.


(2) Sistem . . . - 29 -

(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi.

(3) Sistem informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sekurang-kurangnya memuat data lahan tentang:
a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjuta
b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
dan

Data Lahan dalam sistem informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada
aya (3) sekurang-k
a. fisik alamiah;
b. fisik buatan;
c. kondisi sumber daya manusia dan sosial eko
d. status kepemilikan dan/ata
e. luas dan lokasi lahan; dan jenis k

Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksu
setiap tahun kepada: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah dalam hal
Pertanian nasional oleh Menteri; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dalam hal informasi
gubernur; dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam hal informasi Lahan
- 30 -

Pasal 59 Penyebaran informasi sebagaimana dimaksud

(1
Pasal 58 dilakukan sampai kecamatan dan desa. Menteri mengoordinasikan Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk keperluan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. Sistem informasi dan administrasi pertanahan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dikelola oleh Pusat Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dikoordinasikan antarlembaga pemerintah di bidang pertanahan, lembaga Pemerintah di bi

Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi ebagaimana dimaksud dalam
s
d
BAB XI
Pasal 61 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melindungi dan emberdayakan peta
m
s
Pasal 62
Perlindungan petani sebagaimana d
Pasal 61 berupa pemberian jaminan: harga komodit
menguntungkan; memperoleh
pertanian;
- 31 -

d. pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional; dan/atau
e. ganti rugi akibat gagal panen.

(2) Perlindungan sosial bagi petani kecil merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem jaminan sosial nasional yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 63
Pemberdayaan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 meliputi:
a. penguatan kelembagaan petani;
b. penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia;
c. pemberian fasilitas sumber pembiayaan/permodalan;
d. pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian;
e. pembentukan Bank Bagi Petani;
f. pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga petani; dan/atau
g. pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63 diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 65
(1) Sejalan dengan pendirian Bank Bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf e dibentuk lembaga pembiayaan mikro di bidang pertanian baik berbentuk konvensional maupun syariah di tingkat kabupaten/kota dan/atau provinsi.

(2) Dalam . . . - 32 -

(2) Dalam membentuk lembaga pembiayaan mikro di bidang pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait, lembaga pemerintah, dan pemerintah daerah.

(3) Sumber pembiayaan untuk pembentukan lembaga pembiayaan mikro memanfaatkan:
a. dana dari Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai stimulan;
b. dana tanggung jawab sosial dan lingkungan dari badan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
c. dana masyarakat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Bank Bagi Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XII
PEMBIAYAAN
Pasal 66
(1) Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.

(2) Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan selain bersumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dari dana tanggung jawab sosial dan lingkungan dari badan usaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII . . . - 33 -
BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 67
(1) Masyarakat berperan serta dalam perlindungan Kawasan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara perorangan dan/atau berkelompok.

(3) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam tahapan:
a. perencanaan;
b. pengembangan;
c. penelitian;
d. pengawasan;
e. pemberdayaan petani; dan/atau
f. pembiayaan.

Pasal 68
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) dilakukan melalui:
a. pemberian usulan perencanaan, tanggapan, dan saran perbaikan atas usulan perencanaan Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
b. pelaksanaan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan dalam pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29;
c. penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);
d. penyampaian laporan dan pemantauan terhadap kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56;

e. pemberdayaan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63;

f. pembiayaan . . . - 34 -

f. pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dapat dilakukan dalam pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
g. pengajuan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di wilayahnya; dan
h. pengajuan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasal 69
Dalam hal perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, masyarakat berhak:
a. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di wilayahnya; dan
b. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

BAB XIV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 70
(1) Setiap orang yang melanggar kewajiban atau larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 45, Pasal 50 ayat (2), Pasal 57 ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;


f. pembatalan . . . - 35 -

f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi lahan;
i. pencabutan insentif; dan/atau
j. denda administratif.

(3) Setiap pejabat pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi dan besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 71
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;


d. melakukan . . . - 36 -

d. melakukan pemeriksaan atas dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dan/atau saksi ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil melakukan koordinasi dengan Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 72
(1) Orang perseorangan yang melakukan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Orang . . . - 37 -

(2) Orang perseorangan yang tidak melakukan kewajiban mengembalikan keadaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ke keadaan semula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh pejabat pemerintah, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diancamkan.

Pasal 73
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 74
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh suatu korporasi, pengurusnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana berupa:
a. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
b. pembatalan kontrak kerja dengan pemerintah;
c. pemecatan pengurus; dan/atau
d. pelarangan pada pengurus untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.


(3) Dalam . . . - 38 -

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana diatur dalam bab ini menimbulkan kerugian, pidana yang dikenai dapat ditambah dengan pembayaran kerugian.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 75
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang belum menetapkan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 disesuaikan paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(2) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, sedangkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota sudah ditetapkan, penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 dilakukan oleh bupati/walikota sampai diadakan perubahan atas Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 76
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 77
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . . - 39 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta,
pada tanggal 14 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 14 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 149
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Deputi Menteri Sekretaris Negara
Bidang Perundang-undangan,
ttd.
Muhammad Sapta Murti

Rabu, 30 Juni 2010

PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
_________________________________________________________________________
LAMPIRAN I
PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2009
TENTANG
LARASITA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
1
DAFTAR ISI
Hal
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 2
BAB II KETENTUAN UMUM ............................................................ 4
BAB III TATA LAKSANA ................................................................... 5
A. Pengorganisasian .............................................…………… 5
B. Pendelegasian Kewenangan...............................…………… 7
C. Persiapan Pelaksanaan ................................................... 7
D. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan ..................................... 10
E. Aplikasi Pelayanan .......................................................... 15
F. Mekanisme Pengamanan ................................................. 16
G. Laporan Pelaksanaan Kegiatan.........................…………… 20
H. Monitoring dan Evaluasi .................................................. 21
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………… 22
BAB I …
- 2 -
BAB I
PENDAHULUAN
LARASITA adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa
keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat.
LARASITA dibangun dan dikembangkan untuk mewujudnyatakan amanat
Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, Undang-Undang Pokok Agraria, serta
seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan
keagrariaan.
Pengembangan LARASITA berangkat dari kehendak dan motivasi untuk
mendekatkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI)
dengan masyarakat, sekaligus mengubah paradigma pelaksanaan tugas
pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif atau pro
aktif, mendatangi masyarakat secara langsung. Dan, LARASITA telah
diujicobakan pelaksanaannya di beberapa kabupaten/kota yang setelah
dilakukan evaluasi disimpulkan dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia.
LARASITA menjalankan tugas pokok dan fungsi yang ada pada kantor
pertanahan. Namun sesuai dengan sifatnya yang bergerak, pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi tersebut diperlukan pemberian atau
pendelegasian kewenangan yang diperlukan guna kelancaran
pelaksanaan di lapangan. Dengan demikian LARASITA menjadi
mekanisme untuk:
1. menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaruan agraria
nasional (reforma agraria);
2. melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di
bidang pertanahan;
3. melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar;
4. melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah yang diindikasikan
bermasalah;
5. memfasilitasi penyelesaian tanah yang bermasalah yang mungkin
diselesaikan di lapangan;
6. menyambungkan ...
- 3 -
6. menyambungkan program BPN RI dengan aspirasi yang berkembang
di masyarakat; dan
7. meningkatkan legalisasi aset tanah masyarakat.
Dengan LARASITA, kantor pertanahan menjadi mampu
menyelenggarakan tugas-tugas pertanahan dimanapun target kegiatan
berada. Pergerakan tersebut juga akan memberikan ruang interaksi
antara aparat BPN RI dengan masyarakat sampai pada tingkat
kecamatan, kelurahan/desa, dan tingkat komunitas masyarakat, di
seluruh wilayah kerjanya, terutama pada lokasi yang jauh dari kantor
pertanahan.
BAB II …
- 4 -
BAB II
KETENTUAN UMUM
LARASITA menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada kantor pertanahan, dengan
kekhususan pada jenis kegiatan sebagai berikut:
1. melaksanakan secara lebih dini pengawasan dan pengendalian,
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta
melaksanakan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang
diindikasikan terlantar;
2. melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan sinkronisasi dan
penyampaian informasi penatagunaan tanah dengan Rencana Tata
Ruang dan Wilayah (RTRW) kabupaten/kota;
3. memfasilitasi dan mendekatkan akses-akses untuk menciptakan
sumber-sumber ekonomi baru dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
4. melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan identifikasi masalah,
sengketa atau perkara pertanahan secara dini serta memfasilitasi
upaya penanganannya;
5. melakukan sosialisasi dan berinteraksi untuk menyampaikan
informasi pertanahan dan program-program pertanahan lainnya serta
menghubungkan kebutuhan masyarakat dengan program BPN RI;
6. melaksanakan kegiatan legalisasi aset; dan
7. melaksanakan tugas-tugas pertanahan lain.
BAB III …
- 5 -
BAB III
TATA LAKSANA
A. Pengorganisasian
Pelaksanaan tugas LARASITA ditetapkan sebagai berikut:
1. Tugas pokok dan fungsi kantor pertanahan yang dapat
dilaksanakan dan diselesaikan di lapangan.
2. Tugas pokok dan fungsi kantor pertanahan yang sebagian
dilaksanakan di lapangan dan prosedur selanjutnya dilakukan di
kantor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas LARASITA, dibentuk Tim
Pembina LARASITA di BPN RI, Tim Kendali Pelaksanaan LARASITA di
Kantor Wilayah BPN, dan Tim LARASITA di Kantor Pertanahan.
1. Tim Pembina LARASITA,
Tim ditetapkan dengan Keputusan Kepala BPN RI, dengan susunan
keanggotaan sebagai berikut:
a. Kepala BPN selaku Pembina;
b. Sekretaris Utama selaku Ketua;
c. Deputi I selaku Penanggung Jawab di bidang survey,
pengukuran dan pemetaan
d. Deputi II selaku Penanggung Jawab di bidang hak tanah dan
pendaftaran tanah
e. Deputi III selaku Penanggung Jawab di bidang pengaturan dan
penataan pertanahan
f. Deputi IV selaku Penanggung Jawab di bidang pengendalian
pertanahan dan pemberdayaan masyarakat.
g. Deputi V selaku Penanggung Jawab di bidang pengkajian dan
penanganan sengketa dan konflik pertanahan.
h. Inspektur Utama selaku Penanggung Jawab di bidang
monitoring dan evaluasi.
i. Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan selaku Sekretaris;
2. Tim …
- 6 -
2. Tim Kendali Pelaksanaan LARASITA
Untuk mengendalikan pelaksanaan LARASITA di wilayah kerja
Kantor Wilayah BPN, dibentuk Tim Kendali Pelaksanaan LARASITA
dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN, dengan susunan
keanggotaan dan tugas sebagai berikut:
a. Keanggotaan Tim Kendali Pelaksanaan LARASITA paling banyak
7 (tujuh) orang, dengan susunan sebagai berikut:
1) Ketua, pejabat setingkat eselon III;
2) Anggota, minimal eselon IV.
b. Tugas Tim Kendali Pelaksanaan LARASITA adalah:
1) melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan
LARASITA di wilayah kerjanya;
2) melaporkan secara periodik pelaksanaan LARASITA kepada
Tim Pembina LARASITA.
3. Tim LARASITA
Pelaksanaan LARASITA dilakukan oleh Tim LARASITA yang
ditetapkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, sebagai berikut:
a. Keanggotaan terdiri paling sedikit 5 (lima) orang dengan
susunan sebagai berikut:
1) Koordinator, dengan persyaratan paling rendah pejabat
eselon IV;
2) Petugas Pelaksana, paling sedikit 4 (empat) orang, dengan
persyaratan paling tinggi pejabat eselon IV atau staf yang
menurut penilaian dianggap cakap dan mampu untuk
melaksanakan LARASITA.
b. Penunjukan keanggotaan Tim LARASITA dilakukan bergantian
sesuai dengan kebutuhan dan/atau beban kerja pada Kantor
Pertanahan.
c. Dalam …
- 7 -
c. Dalam hal tertentu, Koordinator tidak harus turun ke lapang
setelah mendapat ijin dari Kepala Kantor Pertanahan.
d. Petugas LARASITA melaksanakan tugas sesuai dengan
perencanaan, jadwal dan tugas yang diberikan oleh Kepala
Kantor Pertanahan.
e. Apabila diperlukan, Kepala Kantor Pertanahan dapat
mengajukan permohonan bantuan tenaga pelaksana LARASITA
kepada Kepala Kantor Wilayah BPN.
B. Pendelegasian Kewenangan
Dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas LARASITA, Kepala
Kantor Pertanahan dapat mendelegasikan kewenangan tertentu
kepada Koordinator Tim LARASITA. Kewenangan yang akan
didelegasikan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kantor
Wilayah BPN setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala Kantor
Pertanahan, sarana dan prasarana atau kesiapan LARASITA pada
kantor pertanahan yang bersangkutan.
C. Persiapan Pelaksanaan
Persiapan pelaksanaan LARASITA dibuat oleh Kepala Kantor
Pertanahan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pemilihan lokasi, dengan mempertimbangkan:
a. Kondisi Wilayah dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat:
1) daerah terpencil/jauh dari kantor pertanahan;
2) tingkat sosial ekonomi masyarakat menengah bawah;
3) usulan/permintaan masyarakat;
4) lainnya yang dianggap penting untuk kabupaten/kota yang
bersangkutan.
b. Kondisi pertanahan:
1) tingginya ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan
dan Pemanfaatan Tanah (P4T);
2) banyaknya jumlah tanah terlantar;
3) banyaknya sengketa dan konflik pertanahan;
4) rendahnya jumlah tanah terdaftar; dan
5) kondisi lainnya.
2. Pembuatan …
- 8 -
2. Pembuatan jadwal kegiatan, dengan mempertimbangkan:
a. Jumlah pegawai di kantor pertanahan;
b. Perkiraan jumlah masyarakat yang dilayani.
Jadwal kegiatan berisi: hari/tanggal/jam, desa/kelurahan,
kecamatan dan nama koordinator, disusun untuk jangka waktu 1
(satu) bulan kedepan.
Contoh Jadwal:
No Hari/Tgl/Jam Desa/Kelurahan Kecamatan Koordinator
1 Senin/ 3.11.2008
jam 09.00-12.00
Adikarti Sidomukti Bambang, SH
2 Selasa/ 4.11.2008
jam 10.00-13.00
Sambi Baru Drs. Sakdila
3 Rabu/ 5.11.2008
jam 10.00 -13.00
Sura Surnandi Ir. Sunandar
4 dan selanjutnya
3. Pengumuman
Jadwal pelaksanaan LARASITA agar diumumkan di papan
pengumuman kantor pertanahan, kantor desa/kelurahan yang
bersangkutan, dan kantor kecamatan. Pengumuman dapat pula
menggunakan saluran media apapun yang dipandang efektif dan
cepat diketahui masyarakat luas; misalnya melalui Radio Siaran
Pemerintah Daerah (RSPD), website, brosur dan lain-lain.
4. Sosialisasi
Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk
melaksanakan kegiatan sosialisasi sebelum pelaksanaan LARASITA
di lapangan. Dan, sosialisasi dilaksanakan dalam berbagai
tingkatan. Tahap pertama, dimulai dengan sosialisasi di tingkat
kabupaten/kota dengan sasaran para pejabat Pemerintah Daerah,
para Camat, para Kepala Desa/Lurah dan organisasi masyarakat.
Tahap berikutnya, sosialisasi dilaksanakan di tingkat kecamatan
dan kelurahan/desa dengan melibatkan masyarakat secara
langsung.
Kesiapan …
- 9 -
Kesiapan LARASITA diawali dari persiapan pra kegiatan lapangan,
dengan urutan sebagai berikut:
a. Ketatausahaan.
1) Menyusun penetapan petugas LARASITA;
2) Menyiapkan surat tugas dan tanda pengenal petugas;
3) Menyiapkan anggaran sesuai alokasi dalam DIPA;
4) Menyiapkan administrasi lainnya yang diperlukan, seperti:
a) form pendaftaran tanah; dan
b) form kegiatan lainnya.
b. Survei, Pengukuran dan Pemetaan.
Menyiapkan data dan informasi pertanahan pada lokasi
kegiatan, antara lain : peta dasar pendaftaran atau peta lainnya
yang dapat digunakan untuk kegiatan ploting tanah yang
diindikasikan terlantar, lokasi sengketa dan konflik apabila
ditemukan di lapangan, untuk kegiatan pendaftaran tanah, dan
kegiatan lainnya.
c. Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.
1) Menyiapkan informasi yang berkaitan dengan layanan
legalisasi aset masyarakat;
2) Data yuridis lainnya yang diperlukan di lapangan.
d. Pengaturan dan Penataan Pertanahan.
1) Mempersiapkan kegiatan yang berkaitan dengan P4T;
2) Apabila telah dilaksanakan inventarisasi P4T, perlu
diintegrasikan dalam peta dasar;
3) Menyiapkan peta rencana tata ruang wilayah.
e. Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat,
mempersiapkan kegiatan yang berkaitan dengan:
1) Identifikasi awal tanah hak yang diindikasi terlantar;
2) Inventarisasi dan identifikasi tanah Negara bekas hak, bekas
kawasan, tanah kritis, dan bekas kawasan khusus dan
lainnya;
3) Inventarisasi …
- 10 -
3) Inventarisasi masyarakat kurang mampu dalam rangka
pemberdayaan masyarakat.
f. Sengketa, Konflik dan Perkara, dengan mempersiapkan:
1) Identifikasi sengketa dan konflik pertanahan di lokasi
kegiatan;
2) Identifikasi awal dan fasilitasi penyelesaian sengketa dan
konflik pertanahan di lokasi kegiatan.
D. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan
LARASITA dalam pelaksanaan tugasnya, menjalankan kegiatan
sebagai berikut:
1. Pemberdayaan Masyarakat.
a. Penyuluhan pertanahan dalam rangka pemberdayaan
masyarakat;
b. Identifikasi kegiatan unggulan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat;
c. Menyambungkan aspirasi masyarakat dengan program
pertanahan;
d. Pengklasifikasian subjek dan objek hak;
e. Kegiatan pertanahan lainnya terkait dengan pemberdayaan
masyarakat;
f. Melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
2. Partisipasi dan Kerjasama.
a. Pengumpulan Informasi Usaha Mikro Kecil, Nelayan dan Usaha
Penangkapan Ikan Skala Kecil, Petani Pemilik Tanah Skala Kecil,
atau program lainnya yang ditetapkan Pemerintah;
b. Peninjauan lapang dan membuat sket lokasi serta status
penguasaan dan pemilikan;
c. Pengklasifikasian ...
- 11 -
c. Pengklasifikasian bentuk partisipasi dan kerjasama;
d. Kegiatan pertanahan lainnya terkait dengan partisipasi dan
kerjasama;
e. Melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
3. Pendeteksian Awal Tanah Terlantar.
a. Pengumpulan informasi tanah yang terindikasi terlantar, tanah
kritis, ketidaksesuaian penggunaan tanah dengan tata ruang
dan masalah lingkungan;
b. Peninjauan lapang dan membuat sket lokasi serta status
penguasaan dan pemilikan;
c. Penelusuran riwayat tanah yang diindikasikan terlantar;
d. Pengklasifikasian subjek dan objek hak;
e. Kegiatan pertanahan lainnya terkait dengan pendeteksian awal
tanah terlantar;
f. Melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
4. Pendekteksian Awal Tanah Bermasalah dan Fasilitasi Penyelesaian
di Lapangan.
a. Pengumpulan informasi tanah yang bermasalah (sengketa dan
konflik);
b. Peninjauan lapang dan membuat sket lokasi serta status
penguasaan dan pemilikan;
c. Penelusuran riwayat sengketa dan konflik pertanahan;
d. Pengklasifikasian subjek dan objek hak;
e. Fasilitasi penyelesaian yang mungkin dilakukan di lapangan;
f. Kegiatan pertanahan lainnya terkait dengan pendekteksian awal
tanah bermasalah dan fasilitasi penyelesaian di lapangan;
g. Melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
5. Pendeteksian ...
- 12 -
5. Pendeteksian Awal Kesesuaian P4T dengan RTRW.
a. Pengecekan lapangan P4T dengan RTRW;
b. Analisis kesesuaian P4T dengan RTRW;
c. Kegiatan pertanahan lainnya terkait dengan pendeteksian awal
kesesuaian P4T dengan RTRW;
d. Melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
6. Pendeteksian Awal Tanah Obyek Landreform.
a. Pengumpulan informasi tanah objek landrefom dan konsolidasi
tanah;
b. Peninjauan lapang dan membuat sket lokasi serta status
penguasaan dan pemilikan;
c. Pengklasifikasian subjek dan objek hak;
d. Kegiatan pertanahan lainnya terkait dengan pendeteksian awal
tanah obyek landreform;
e. Melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
Kegiatan LARASITA yang dapat dilakukan secara langsung di lapangan
mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 dengan
penyesuaian yang dapat dilakukan di lapangan, sebagaimana pada
tabel berikut :
Tabel …
- 13 -
Tabel Kegiatan LARASITA
No Jenis Kegiatan Keterangan
1 Pelayanan surat masuk
2
Informasi Pertanahan – Hukum dan Hak-hak
Atas Tanah
3
Informasi Pertanahan – Pengukuran dan
Pendaftaran Hak Atas Tanah
4
Informasi Pertanahan – Pengaturan
Penguasaan Tanah
5 Informasi Pertanahan – Penatagunaan Tanah
6
Informasi Pertanahan – Pengendalian
Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat
7
Pengaduan masyarakat terhadap tanah yang
diindikasikan terlantar
8 Peralihan Hak – Jual Beli
Untuk nilai transaksi
dibawah NOPTKP
9 Hapusnya Hak Tanggungan – Roya
10 Ganti Nama
11 Ralat Nama
12 Pencatatan Sita Jaminan
13 Pencatatan Blokir
7. Legalisasi …
- 14 -
7. Legalisasi Aset Masyarakat
Dalam hal kegiatan legalisasi aset, LARASITA melaksanakan
langkah sebagai berikut:
a. Kegiatan yang berhubungan langsung dengan pemohon yaitu
menerima dan meneliti berkas, menerima biaya, membuat tanda
terima dan menyerahkan produk kepada pemohon;
b. Apabila pekerjaan yang dilakukan belum dapat diselesaikan
secara tuntas di lapangan karena ketentuan peraturan
perundang-undangan, maka kegiatan tersebut selanjutnya
diproses di kantor pertanahan.
Rincian bagan alir kegiatan legalisasi aset di lapangan:
Proses …
Berkas
STTD & SPS
Uang
Kwitansi
Lengkap
Menerima
Berkas
Input &
Cetak Dok
STTD & SPS
Berkas.Dok Kwitansi
Berkas
Proses
Sesuai
SPOPP
Generate DI &
Cetak Dok
Pemohon Loket II Loket III Loket IV Back Office
Proses dalam LARASITA Proses di KanTah
Loket I
Y
T
Basis
Data
Cek
Sertipikat/
Dokumen
Informasi Lain
Sertipikat/
Dokumen
Informasi Lain
- 15 -
E. Aplikasi Pelayanan
LARASITA dilaksanakan sebagai berikut :
1. Kegiatan dengan teknologi informasi dan komunikasi.
Apabila telah tersedia infrastruktur teknologi informasi dan
komunikasi, LARASITA dilakukan dengan memanfaatkan
infrastruktur tersebut yang menyambungkan LARASITA secara
langsung dengan server di kantor pertanahan. Apabila tidak
tersambung karena sesuatu hal, maka kegiatan tetap dapat
dilaksanakan karena aplikasi untuk keperluan ini sudah ada dalam
perangkat komputer LARASITA yang tersedia.
Aplikasi LARASITA menyiapkan laporan harian kegiatan LARASITA
yang harus dicetak oleh petugas. Hasil cetakan laporan menjadi
laporan serah terima berkas dan keuangan kepada petugas di
kantor pertanahan.
2. Kegiatan …
Berkas
STTD & SPS
Uang
Kwitansi
Lengkap
Menerima
Berkas
Input &
Cetak Dok
STTD & SPS
Berkas.Dok
Kwitansi
Berkas
Proses
Sesuai
Generate DI & SPOPP
Cetak Dok
Pemohon Back Office
Proses dalam LARASITA Proses di KanTah
Loket I/II/III/IV
Y
T
Basis
Data
Cek
Sertipikat/
Dokumen
Informasi Lain
Sertipikat/
Dokumen
Informasi Lain
- 16 -
2. Kegiatan LARASITA secara manual.
Apabila infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi belum
tersedia, maka kegiatan LARASITA dapat dilakukan secara manual.
Setiap kegiatan dicatat dan dibukukan dengan Daftar-daftar Isian
atau buku-buku lainnya yang berlaku. Khusus untuk kegiatan
legalisasi aset, nomor berkas permohonan, misalnya, diberikan
nomor sementara. Apabila petugas LARASITA telah kembali ke
kantor pertanahan, maka nomor berkas sementara tersebut
disinkronisasikan dengan nomor berkas di kantor pertanahan.
Contoh :
Nomor berkas sementara pendaftaran LARASITA adalah:
A.5/L/2009, A adalah tim LARASITA A, angka 5 adalah nomor urut
pendaftaran di lapangan, L adalah singkatan dari LARASITA, angka
2009 adalah angka tahun berjalan.
Apabila nomor berkas pendaftaran terakhir di kantor pertanahan
tercatat, misalnya, Nomor 58/2009 maka setelah disinkronisasi
Nomor A.5/L/2009, menjadi nomor berkas berikutnya yakni
Nomor 59/2009.
Nomor baru tersebut harus dicatat juga dalam berkas
permohonan, agar proses penyelesaian berkas permohonan
tersebut tetap dapat dipantau.
F. Mekanisme Pengamanan
1. Pengamanan Lembaga
LARASITA pada hakekatnya adalah kantor pertanahan yang
bergerak mendekati masyarakat. Oleh karena itu, pengamanan
LARASITA merupakan pengamanan terhadap lembaga BPN RI.
Dengan demikian, setiap ketentuan yang mengatur hal tersebut
harus diperhatikan dan dipedomani di lapangan.
2. Pengamanan …
- 17 -
2. Pengamanan Perangkat Kelembagaan
a. Petugas LARASITA
Dalam melaksanakan tugasnya, petugas LARASITA harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) memakai seragam lengkap BPN-RI;
2) menggunakan nama lengkap (tanda pengenal) di dada kiri;
3) membawa Surat Tugas dari Kepala Kantor Pertanahan atau
pejabat yang ditunjuk;
4) jika dipandang perlu petugas LARASITA diasuransikan.
b. Perangkat LARASITA
1) Perangkat Bergerak
Kendaraan LARASITA merupakan inventaris kantor yang
memerlukan perawatan dan pengamanan dalam operasional
pelaksanaan di lapangan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengamanan kendaraan adalah:
a) menggunakan logo dan simbol-simbol BPN-RI;
b) selama di lapangan kendaraan diparkir dengan
memperhatikan segi keamanan, kecelakaan lalu lintas dan
rawan bencana alam;
c) petugas LARASITA selalu menjaga perawatan dan
keamanan kendaraan berikut perlengkapannya;
d) Disediakan nomor-nomor telepon penting seperti Kantor
Polisi, Pusat Kesehatan, Kantor Kecamatan, Kantor
Kelurahan, dan lain-lain yang dianggap penting.
Contoh Kendaraan LARASITA sebagaimana tercantum pada
Lampiran II.
2) Perangkat …
- 18 -
2) Perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi serta
pendukung lainnya
Perangkat Keras dan Lunak (Hardware dan Software)
Peralatan yang digunakan LARASITA terdiri dari perangkat
komputer, aplikasi dan pendukungnya selalu dijaga, dirawat
dan diamankan dengan melakukan pengecekan kerja sistem
operasi komputer, pengamanan terhadap serangan virus,
dan sebagainya.
Setiap pergantian pelaksana lapangan, koordinator
menyerahkan LARASITA berikut peralatannya kepada Kepala
Kantor Pertanahan dengan Berita Acara Serah Terima.
3) Perangkat Jaringan Komunikasi
LARASITA tersambung secara langsung dengan server di
kantor pertanahan dengan menggunakan sarana jaringan
komunikasi seperti kabel, satelit, maupun radio yang
dianggap paling aman.
Standar keamanan komunikasi data menggunakan 2 kriteria
disesuaikan dengan ketersedian jaringan komunikasi di
Kantor Pertanahan yaitu:
 Yang telah ditetapkan BPN-RI yaitu jaringan intranet BPNRI
NET yang menggunakan teknologi MPLS (Multiprotocol
Label Switching).
 Untuk Kantor Pertanahan yang belum terintegrasi dengan
jaringan yang telah ditetapkan BPN-RI, maka jaringan
komunikasi dapat menggunakan jalur komunikasi
Internet yang telah dilengkapi dengan firewall (perangkat
pengaman jaringan).
3. Pengamanan …
- 19 -
3. Pengamanan Masyarakat
Yang dimaksud dengan pengamanan masyarakat adalah bahwa
setiap produk kegiatan LARASITA harus terjaga baik secara
kualitatif maupun kuantitatif dan memberikan manfaat yang
setinggi-tingginya bagi masyarakat.
4. Pengamanan Data Pertanahan
Berkas permohonan ataupun dokumen lain yang diterima maupun
dibawa LARASITA pada saat tiba kembali di kantor pertanahan
harus diserahkan oleh koordinator LARASITA kepada petugas yang
bertanggung jawab di kantor pertanahan dengan tanda terima pada
hari yang sama atau paling lambat 1(satu) hari kerja berikutnya.
Petugas penerima bertanggung jawab atas berkas permohonan dan
dokumen di atas dan melanjutkan proses sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
5. Pengamanan Keuangan
a. Uang yang diterima oleh Bendahara Penerima LARASITA
disimpan dalam brankas LARASITA, dibukukan untuk diserahan
kepada Bendahara Penerima Kantor Pertanahan dengan tanda
terima pada hari yang sama atau paling lambat 1(satu) hari
kerja berikutnya.
b. Jika jumlah uang yang diterima oleh Bendahara Penerima
LARASITA relatif besar dapat meminta pengawalan dari
kepolisian setempat.
6. Pengamanan Lainnya.
a. Apabila dalam melaksanakan tugas di lapangan mengalami
gangguan keamanan, maka koordinator LARASITA segera
melaporkan hal tersebut secepatnya kepada kepolisian setempat
dan sekaligus membuat laporan kejadian tersebut kepada
Kepala Kantor Pertanahan.
b. Kepala …
- 20 -
b. Kepala Kantor Pertanahan segera mengambil langkah-langkah
yang dipandang perlu untuk mengatasi permasalahan
keamanan tersebut.
G. Laporan Pelaksanaan Kegiatan
Koordinator LARASITA membuat laporan kegiatan. Laporan tersebut
selanjutnya diserahkan kepada petugas di kantor pertanahan dengan
tanda terima.
Contoh Form Laporan Kegiatan Harian :
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota/Kotamadya ......…
LAPORAN
KEGIATAN LAPANGAN
1. Hari :
2. Tanggal :
3. Jam pelaksanaan :
4. Tempat :
5. Desa/Kelurahan :
6. Kecamatan :
7. Jumlah Berkas :
8. Jumlah Penerimaan Keuangan :
9. Masalah/kendala yang dihadapi di lapangan :
10. Lain-lain yang perlu dilaporkan :
Yang Menerima Berkas Yang Menerima Uang Yang Melaporkan
Koordinator Tim,
………………………… ………………………………… ………………………………
NIP. NIP. NIP.
H. Monitoring …
No
Jenis
Kegiatan
Volume Pemohon
Selesai /
Tidak
Petugas Biaya
- 21 -
H. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaporkan secara periodik oleh
Kepala Kantor Pertanahan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dan selanjutnya diteruskan kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
BAB IV …
- 22 -
BAB IV
PENUTUP
LARASITA adalah inovasi yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia untuk memenuhi harapan masyarakat.
Dengan LARASITA pola pengelolaan pertanahan dikembangkan menjadi
lebih aktif untuk memberikan jaminan keadilan bagi masyarakat dalam
pengurusan pertanahan, memperluas cakupan wilayah pengurusan
pertanahan dan menjamin pengurusan-pengurusan pertanahan tersebut
tanpa perantara.
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JOYO WINOTO, Ph.D

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/ 9 /PBI/2007 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BANKDENGAN PRINSIP SYARIAH

PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/ 9 /PBI/2007
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN
KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank harus
mengelola risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) dengan
menjaga kualitas aktiva dan membentuk penyisihan
penghapusan aktiva yang memadai;
b. bahwa dengan terjaganya kualitas aktiva dapat lebih
meningkatkan peranan perbankan syariah dalam pelaksanaan
fungsi intermediasi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, diperlukan perubahan terhadap
Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang …
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4647).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4647) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang
bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah.
3. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun
valuta asing untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk pembiayaan,
surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal
sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif,
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia serta bentuk penyediaan dana lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu.
4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat
dipersamakan de ngan itu berupa :
a. transaksi investasi dalam akad Mudharabah dan/atau Musyarakah;
b. transaksi sewa dalam akad Ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan
hak milik dalam akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik;
c. transaksi jual beli dalam akad Murabahah, Salam, dan Istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam akad Qardh; dan
e. transaksi multijasa dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan nasabah
pembiayaan yang mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi
hutang/kewajibannya dan/atau menyelesaikan investasi mudharabah
dan/atau…
- 4 -
dan/atau musyarakah dan hasil pengelolaannya sesuai dengan akad.
5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal)
kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu, dengan menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau
metode bagi pendapatan (net revenue sharing) antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
6. Musyarakah adalah penanaman dana dari para pemilik dana/modal untuk
mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal
berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.
7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati.
8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat
tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
9. Istishna’ adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
10. Ijarah adalah sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik
obyek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas obyek sewa dengan
penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakan.
11. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah sewa menyewa antara pemilik obyek
sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang
disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa baik dengan
jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai akad sewa.
12. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban
pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu.
13. Surat …
- 5 -
13. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip
syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal
antara lain obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah dan surat berharga
lainnya berdasarkan prinsip syariah.
14. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada Bank lainnya dan/atau
Bank Perkreditan Rakyat Syariah antara lain dalam bentuk giro dan/atau
tabungan Mudharabah dan/atau Wadiah, deposito berjangka dan/atau
tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan, dan/atau bentukbentuk
penempatan lainnya berdasarkan prinsip syariah.
15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah atau jenis transaksi
tertentu berdasarkan prinsip syariah yang berakibat Bank memiliki atau
akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
syariah.
16. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal Bank dalam
perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan/atau
piutang (debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketent uan Bank
Indonesia yang berlaku, atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank
memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan nasabah.
17. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (off
balance sheet) berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas bank garansi,
akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih
berjalan, akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan
garansi lain berdasarkan prinsip syariah.
18. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah sertifikat yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan
akad Wadiah.
19. Wadiah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang
pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima
titipan …
- 6 -
titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.
20. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan Syariah adalah Bank, Bank
Perkreditan Rakyat Syariah, dan perusahaan di bidang keuangan lain
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan
yang berlaku antara lain perusahaan sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan.
21. Proyeksi Pendapatan adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima Bank
dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan/atau Musyarakah dengan
jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara Bank dan nasabah.
22. Realisasi Pendapatan adalah pendapatan yang diterima Bank dari nasabah
atas Pembiayaan Mudharabah dan/atau Musyarakah.
23. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang
memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil
alih, properti terbengkalai, rekening antar kantor dan suspense account,
serta persediaan.
24. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah
aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar
pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan
atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan
dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.
25. Rekening Antar Kantor adalah akun tagihan yang timbul dari transaksi antar
kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu.
26. Suspense Account adalah akun yang digunakan untuk menampung transaksi
yang tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi
pencatatan yang memadai sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun
yang seharusnya.
27. Persediaan adalah akun sementara untuk menampung aktiva non kas
sebelum diserahkan kepada nasabah pembiayaan dalam transaksi
berdasarkan ….
- 7 -
berdasarkan akad Murabahah, Salam dan Istishna.
28. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang selanjutnya disebut PPA adalah
cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan
kualitas aktiva.
29. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang:
a. Tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan
keuangan baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas;
b. Melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan
ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang;
c. Menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian
yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
d. Memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi
sebagai perusahaan penilai; serta
e. Tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang
berwenang.
30. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank
dalam kegiatan penyediaan dana terhadap nasabah yang mengalami
kesulitan untuk memenuhi kewajibannya dengan mengikuti ketentuan Bank
Indonesia dan sesuai dengan prinsip syariah
2. Ketentuan Pasal 16 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (2)
sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Kualitas Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan Lancar apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Terdapat informasi tentang surat berharga tersebut secara
transparan;
b. Telah ….
- 8 -
b. Telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai
perjanjian; dan
c. Belum jatuh tempo.
(2) Kualitas Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan Macet apabila
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kualitas Surat Berharga Syariah, selain Surat Berharga Pasar Uang
Syariah, yang memiliki peringkat ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih
tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating
agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan
dalam waktu s atu tahun terakhir;
2) Telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat,
sesuai perjanjian; dan
3) Belum jatuh tempo;
b. Kurang Lancar, apabila:
1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih
tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating
agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam
waktu satu tahun terakhir;
2) Terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala
atau kewajiban lain sejenis; dan
3) Belum jatuh tempo;
atau
1) Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah
peringkat investasi (investment grade) yang diterbitkan oleh
lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank
Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2) Tidak…
- 9 -
2) Tidak terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee
berkala atau kewajiban lain sejenis; dan
3) Belum jatuh tempo;
c. Macet, apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b.
(4) Kualitas Surat Berharga Syariah, di luar Surat Berharga Pasar Uang
Syariah, yang tidak memiliki peringkat ditetapkan sebagai berikut:
a. Mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24, apabila diterbitkan oleh Bank; atau
b. Mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, apabila diterbitkan oleh nasabah.
3. Ketentuan Pasal 23 dihapus.
4. Ketentuan Pasal 24 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat baru yakni ayat (2)
sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila :
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) memenuhi persyaratan:
i. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad
Qardh, atau
ii. dapat ditarik setiap saat untuk giro dan tabungan berdasarkan
akad Wadiah, atau
iii. tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi
dan/atau bagi hasil untuk tabungan atau deposito berdasarkan
akad Mudharabah, atau
iv. tidak…
- 10 -
iv. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi
dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi
Pendapatan sama atau lebih besar dari 80% (delapan puluh
perseratus) untuk Pembiayaan berdasarkan akad Mudharabah
dan Musyarakah, atau
v. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) memenuhi persyaratan:
i. terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5
(lima) hari kerja untuk akad Qardh, atau
ii. tidak dapat ditarik sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk
giro dan tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau
iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk tabungan
atau deposito yang berprinsip Mudharabah, atau
iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai
dengan 5 (lima) hari kerja dan/atau rasio Realisasi
Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan lebih besar dari
30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 80% (delapan
puluh perseratus), atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap
Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari 30% (tiga
puluh perseratus) sampai dengan 3 (tiga) periode
pembayaran, untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. terdapat …
- 11 -
v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan
berdasarkan akad Murabahah.
c. Macet, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang
dari ketentuan yang berlaku;
2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan
khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi
pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam
likuidasi; dan/atau
4) memenuhi persyaratan:
i. terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad Qardh
lebih dari 5 (lima) hari kerja, atau
ii. tidak dapat ditarik saat jangka waktu lebih dari 5 (lima) hari
kerja untuk giro dan tabungan berdasarkan akad Wadiah ,
atau
iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk tabungan atau
deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau
iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari 5
(lima) hari kerja dan/atau rasio Realisasi Pendapatan
terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari
30% (tiga puluh perseratus) lebih dari 3 (tiga) periode
pembayaran untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. terdapat …
- 12 -
v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan berdasarkan
akad Murabahah.
(2) Kualitas Penempatan berupa Pembiayaan kepada Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS) dalam rangka Linkage Program dengan pola
executing ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) memenuhi persyaratan:
i. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad
Qardh, atau
ii. dapat ditarik setiap saat untuk tabungan berdasarkan akad
Wadiah, atau
iii. tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi
dan/atau bagi hasil untuk tabungan atau deposito
berdasarkan akad Mudharabah, atau
iv. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi
dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi
Pendapatan sama atau lebih besar dari 80% (delapan puluh
perseratus) untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
marjin untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) memenuhi…
- 13 -
2) memenuhi persyaratan:
i. terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 30
(tiga puluh) hari untuk akad Qardh, atau
ii. tidak dapat ditarik sampai dengan 30 (tiga puluh) hari
untuk tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau
iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk
tabungan atau deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau
iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai
dengan 30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio Realisasi
Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan lebih besar dari
30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 80% (delapan
puluh perseratus), atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap
Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari 30% (tiga
puluh perseratus) sampai dengan 3 (tiga) periode
pembayaran, untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan
berdasarkan akad Murabahah.
c. Macet, apabila:
1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
kurang dari ketentuan yang berlaku;
2) BPRS yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai BPRS dengan status dalam pengawasan
khusus (special surveillance) atau BPRS telah dikenakan sanksi
pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3) BPRS yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai BPRS
dalam likuidasi; dan/atau
4) memenuhi …
- 14 -
4) memenuhi persyaratan:
i. terdapat tunggakan pembayaran pokok lebih dari 30 (tiga
puluh) hari untuk akad Qardh, atau
ii. tidak dapat ditarik lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk
tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau
iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan
atau deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau
iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari
30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio Realisasi Pendapatan
terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari
30% (tiga puluh perseratus) lebih dari 3 (tiga) periode
pembayaran untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan yang
berprinsip Murabahah.
5. Diantara Pasal 24 dan 25, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24A
Kualitas tagihan akseptasi ditetapkan sebagai berikut:
a. mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; atau
b. mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah nas abah.
6. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25…
- 15 -
Pasal 25
Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan sebagai berikut :
a. mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
apabila pihak lawan transaksi (counterparty) dari Transaksi Rekening
Administratif tersebut adalah bank lain yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah; atau
b. mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
apabila pihak lawan transaksi (counterparty) dari Transaksi Rekening
Administratif tersebut adalah nasabah.
7. Diantara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 25A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25A
(1) Penetapan kualitas Transaksi Rekening Administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pas al 25 tidak berlaku untuk kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang:
a. dapat dibatalkan sewaktu-waktu tanpa syarat (unconditionally
cancelled at any time) oleh Bank; atau
b. dibatalkan secara otomatis oleh Bank apabila kondisi nasabah
menurun menjadi Kurang Lancar, Diragukan atau Macet.
(2) Bank yang memiliki kewajiban komitmen dan kontinjensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan klausula sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b kedalam perjanjian antara
Bank dengan nasabah.
8. Ketentuan Pasal 26 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (2)
sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26…
- 16 -
Pasal 26
(1) Penilaian atas kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya
didasarkan pada kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c diberlakukan hanya untuk:
a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang berjumlah sampai
dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk 1 (satu)
nasabah individual atau nasabah grup;
b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh Bank
kepada nasabah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan jumlah:
1) di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah), bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian
risiko (risk control system) untuk risiko kredit dari
pembiayaan (credit risk) “sangat memadai” (strong);
ii. memiliki Tingkat Kesehatan Cukup Sehat atau paling kurang
peringkat komposit 3; dan
iii. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku;
2) di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut :
i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian
risiko (risk control system) untuk risiko kredit dari
pembiayaan (credit risk) “dapat diandalkan” (acceptable);
ii. memiliki Tingkat Kesehatan Cukup Sehat atau paling kurang
peringkat komposit 3; dan
iii. memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan
yang berlaku.
2) Bagi …
- 17 -
(2) Bagi Unit Usaha Syariah (UUS), predikat penilaian kecukupan sistem
pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk)
mengacu kepada hasil penilaian UUS, sedangkan untuk penilaian rasio
KPMM dan penilaian Tingkat Kesehatan mengacu kepada hasil
penilaian bank induknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2)
tidak diberlakukan untuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya
yang diberikan kepada 1 (satu) nasabah Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) yang merupakan:
a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau
b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank.
(4) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a tetap dilakukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 46A dan Pasal 47.
9. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
(1) Predikat penilaian atas kecukupan sistem pengendalian risiko untuk
risiko kredit dari pembiayaan(credit risk), rasio KPMM dan penilaian
Tingkat Kesehatan, yang digunakan dalam penilaian kualitas
Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) huruf b dan ayat (2) didasarkan pada penilaian Bank
Indonesia.
(2) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk), rasio KPMM, dan
penilaian Tingkat Kesehatan dalam penilaian kualitas Pembiayaan dan
penyediaan…
- 18 -
penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 1
huruf b dan ayat (2) dilakukan sebagai berikut:
a. penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya untuk
bulan Januari sampai dengan Juni menggunakan selambatlambatnya
posisi bulan September; dan
b. penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya untuk
bulan Juli sampai dengan Desember menggunakan selambatlambatnya
posisi bulan Maret.
10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketujuh
Pembiayaan dan Penyediaan Dana Lain di Daerah Tertentu
Pasal 27
Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah sampai dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) hanya didasarkan atas faktor
penilaian kemampuan membayar.
11. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA atas dasar
net realizable value :
a. pada saat pengambilalihan agunan; dan
b. pada masa-masa berikutnya setelah dilakukan pengambilalihan
agunan.
(2) Penetapan …
- 19 -
(2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih.
12. Ketentuan Pasal 39 ayat (1) diubah sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai
berikut :
Bagian Kedua
Tatacara Pembentukan
Pasal 39
(1) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (2) huruf a, berlaku sebagai berikut :
a. ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1 % (satu perseratus) dari
seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan Lancar;
b. pembentukan cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan untuk aktiva produktif dalam bentuk Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia, surat berharga yang diterbitkan pemerintah
berdasarkan prinsip syariah, serta bagian aktiva produktif yang
dijamin dengan jaminan pemerintah dan agunan tunai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 huruf a.
(2) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva ditetapkan sekurangkurangnya
sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan
Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan; dan
b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang
digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan
c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang
digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang
digolongkan…
- 20 -
digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan.
(3) Kewajiban untuk membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif untuk transaksi sewa
berupa akad Ijarah atau transaksi sewa dengan perpindahan hak milik
berupa akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik.
(4) Bank wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk transaksi sewa,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ijarah disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan penyusutan
Bank bagi aktiva yang sejenis;
b. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik disusutkan sesuai dengan masa sewa.
(5) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan
PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan untuk
Aktiva Produktif.
13. Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga
Penilaian Agunan
Pasal 41
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan
PPA terdiri dari:
a. Agunan tunai berupa Giro, tabungan, deposito, setoran jaminan
dan/atau emas yang diblokir dan disertai dengan surat kuasa pencairan;
b. Jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
c. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan/atau surat berharga dan/atau
tagihan yang diterbitkan pemerintah;
d. Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat investasi (investment
grade) dan aktif diperdagangkan di bursa;
e. Tanah…
- 21 -
e. Tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal laut dengan
ukuran di atas 20 (dua puluh ) meter kubik;
f. Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia;
g. Mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah dan diikat
dengan hak tanggungan;
h. Resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang.
14. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada
pembentukan PPA sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 dan Pasal 41
ditetapkan:
a. paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) untuk agunan tunai
berupa giro, tabungan, deposito, setoran jaminan dan/atau emas yang
diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan;
b. sebesar 100% (seratus perseratus) untuk jaminan Pemerintah Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) untuk agunan berupa
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan
pemerintah ;
d. paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) untuk agunan berupa
Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa atau memiliki
peringkat investasi dan/atau resi gudang;
e. paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang
dilakukan sebelum melampaui 12 (dua belas) bulan;
2) 50%…
- 22 -
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang
dilakukan setelah 12 (dua belas) bulan tetapi belum melampaui 18
(delapan belas) bulan;
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang
dilakukan setelah melampaui 18 (delapan belas) bulan tetapi belum
melampaui 30 (tiga puluh) bulan;
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan
setelah melampaui 30 (tiga puluh) bulan.
untuk agunan berupa tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara, kapal
laut, kendaraan bermotor, persediaan, mesin yang dianggap sebagai satu
kesatuan dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 huruf g, dan resi gudang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 41 huruf h.
15. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib
dilakukan :
a. dengan menggunakan nilai pasar yang tercatat dipasar modal pada akhir
bulan untuk Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa;
b. berdasarkan nilai wajar untuk tanah dan rumah tinggal ;
c. berdasarkan nilai wajar untuk gedung, pesawat udara, kapal laut,
kendaraan, persediaan dan mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan
dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan;
d. berdasarkan nilai yang ditentukan oleh pihak atau lembaga yang
berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk resi
gudang.
16. Ketentuan …
- 23 -
16. Ketentuan Pasal 46 diubah dengan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (6)
sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:
BAB VI
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 46
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Pembiayaan, sebagai berikut:
a. Kebijakan restrukturisasi wajib disetujui oleh Komisaris;
b. Prosedur pelaksanaan restrukturisasi wajib disetujui paling kurang
oleh Direksi;
c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan restrukturisasi;
d. Kebijakan dan prosedur pelaksanaan restrukturisasi merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko
Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
(2) Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap
nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Nasabah telah atau diperkirakan mengalami penurunan atau
kesulitan kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan
kewajibannya; dan
b. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah restrukturisasi.
(3) Upaya dan mekanisme restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia
dan sesuai prinsip syariah.
(4) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan yang direstrukturisasi adalah
sebagai berikut:
a. Paling…
- 24 -
a. Paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum
direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. Kualitas tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum
direstrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau
Kurang Lancar.
(5) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat:
a. Menjadi Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok
dan/atau bagi hasil/marjin/fee atau kewajiban lain yang sejenis
selama 3 (tiga) kali periode pembayaran berturut-turut dan/atau
secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan; atau
b. Kembali sesuai dengan kualitas sebelum dilakukan Restrukturisasi
Pembiayaan atau kualitas sebenarnya apabila lebih buruk sesuai
dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau jika
debitur tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam
perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan
Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan
dokumentasi yang memadai.
(6) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan
jumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) didasarkan atas
kemampuan membayar.
17. Diantara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan satu pasal yakni Pasal 46A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46A
(1) Penilaian kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi, wajib
dilakukan kembali sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam…
- 25 -
dalam Pasal 9 paling lambat 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4).
(2) Penilaian kualitas Pembiayaan yang tidak memenuhi kriteria dan/atau
syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) huruf b wajib dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
18. Ketentuan Pasal 50 ayat (1) diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai
berikut:
BAB VIII
SANKSI
Pasal 50
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4,Pasal
5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 14, Pasal 17, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22,
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4),
Pasal 45 ayat (3), Pasal 46 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 46A,
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 55 dapat dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
c. penggantian pengurus.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 wajib membentuk PPA
sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva dimaksud.
Pasal II …
- 26 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 18 Juni 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 77
DPbS
PENJELASAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/9/PBI/2007
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN
KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, bank harus
mengelola risiko kredit dari pembiayaannya (credit risk) pada tingkat yang
memadai sehingga dapat meminimalisasi potensi kerugian dari pembiayaan.
Pengelolaan risiko dari pembiayaan tersebut dilakukan antara lain dengan selalu
menjaga kualitas dari pembiayaan berupa terjaganya kualitas aktiva dan
pembentukan penyisihan penghapusan aktiva yang memadai.
Dengan pengelolaan risiko secara baik yang tercermin dengan terjaganya
kualitas aktiva dan tersedianya penyisihan penghapusan secara memadai, bank
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam melaksanakan fungsi
intermediasi perbankan.
PASAL DEMI PASAL
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 16
Ayat (1)
Termasuk dalam kelompok Surat Berharga Pasar Uang Syariah
antara lain adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank
(SIMA) …
- 2 -
(SIMA) dan Obligasi Syariah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan transparan adalah
tersedianya informasi mengenai surat berharga
dalam sistem informasi yang ada di Bank
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Surat Berharga Syariah selain Surat Berharga Pasar Uang
Syariah antara lain Obligasi Syariah dan surat berharga
yang dihubungkan dengan aset tertentu berdasarkan prinsip
syariah.
Yang dimaksud dengan peringkat investasi (investment
grade) dan lembaga pemeringkat yaitu peringkat dan
lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai Lembaga
Pemeringkat dan Peringkat.
Ayat (4)
Surat berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak
memiliki peringkat antara lain adalah medium term note dan
pengambilalihan wesel ekspor.
Angka 3 …
- 3 -
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 24
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sesuai
dengan ketentuan yang berlaku adal ah rasio KPMM yang ditetapkan
Bank Indonesia untuk bank di dalam negeri atau otoritas yang
berwenang untuk bank di luar negeri.
Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi terakhir
sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
Apabila laporan keuangan publikasi terakhir atau data KPMM pada
laporan keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap
memiliki KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan Linkage Program adalah kerja sama antara
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat termasuk didalamnya
Bank dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dalam menyalurkan
Pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Linkage Program dengan pola executing adalah pinjaman yang
diberikan dari Bank kepada Bank Perkreditan Rakyat Syariah dalam
rangka pembiayaan untuk diteruspinjamkan kepada nasabah Usaha
Mikro dan Usaha Kecil.
Angka 5
Pasal 24A
Yang dimaksud dengan tagihan akseptasi adalah tagihan yang timbul
sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka.
Angka 6 …
- 4 -
Angka 6
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 25A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lainnya adalah
penerbitan jaminan dan/atau pembukaan letter of credit.
Huruf b
Pengertian Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Definisi Usaha Kecil saat ini antara lain diatur dalam
Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil,
yaitu usaha yang me menuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. milik Warga Negara Indonesia;
d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
berafiliasi …
- 5 -
berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
dengan usaha menengah atau usaha besar;
e. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang
tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang
berbadan hukum, termasuk koperasi.
Definisi Usaha Menengah saat ini antara lain diatur dalam
Instruksi Presiden Republik Indonesia No.10 tahun 1999
tentang Pemberdayaan Usaha Menengah, yaitu usaha yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih besar dari
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha;
b. milik Warga Negara Indonesia;
c. berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
dengan usaha besar ;
d. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang
tidak berbadan hukum, dan/atau badan usaha yang
berbadan hukum.
Angka 1) dan Angka 2)
Huruf i
Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control
system) mengacu ke ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi
Bank …
- 6 -
Bank Umum yang meliputi:
1. pengawasan aktif Komisaris dan Direksi bank;
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan
limit;
3. kecukupan identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan sistem informasi manajemen risiko; dan
4. sistem pengendalian intern yang komprehensif,
Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian
risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk)
yang sangat memadai (strong) tercermin dari
diterapkannya seluruh komponen sistem pengendalian
risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) tersebut
secara efektif dalam memelihara kondisi internal bank
yang sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam
penerapan sistem pengendalian tersebut, maka
kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap
risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) secara
keseluruhan dan dapat segera dilakukan tindakan
perbaikan sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang
signifikan terhadap kondisi bank.
Sedangkan untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit
risk) yang dapat diandalkan (acceptable) dicerminkan
melalui diterapkannya seluruh komponen sistem
pengendalian risiko kredit dari pembiayaan (credit
risk) secara cukup efektif dalam memelihara kondisi
internal Bank yang sehat. Apabila terdapat kelemahan
dalam penerapan sistem pengendalian tersebut, maka
kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap
risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) dan apabila
tidak …
- 7 -
tidak segera dilakukan tindakan korektif dapat
menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap
kondisi Bank.
Huruf ii
Penilaian Tingkat Kesehatan mengacu pada ketentuan
yang berlaku.
Huruf iii
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) nasabah terbesar
adalah 50 (lima puluh) nasabah Bank secara individual.
Bagi UUS yang dimaksud dengan 50 (lima puluh ) nasabah
terbesar adalah 50 (lima puluh) nasabah secara individual yang
ada di UUS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 26A
Ayat (1)
Penilaian Tingkat Kesehatan mengacu kepada ketentuan yang
berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 10…
- 8 -
Angka 10
Pasal 27
Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu adalah Pembiayaan dan
penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan/atau modal kerja
di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia
memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan
ekonomi di daerah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Pembiayaan dan penyediaan dana di
daerah tertentu.
Angka 11
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai wajar
AYDA yang diperoleh dari estimasi harga pasar dikurangi
estimasi biaya pelepasan.
Yang dimaksud dengan masa-masa berikutnya setelah dilakukan
pengambilalihan AYDA antara lain pada saat pemeriksaan
keuangan tahunan yang dilakukan oleh Akuntan Publik.
Ayat (2)
AYDA dengan nilai di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah) dapat menggunakan penilai intern Bank.
Angka 12
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Penyusutan dan/atau amortisasi untuk Ijarah dan/atau Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik dilakukan dengan mengacu kepada
standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk bank syariah.
Kebijakan penyusutan yang dipilih harus mencerminkan pola
konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan
dari objek Ijarah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 41
Huruf a
Yang dimaksud giro, tabungan dan deposito adalah termasuk
giro, tabungan dan deposito di bank umum konvensional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia adalah
pemerintah pusat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Peringkat investasi (investment grade) didasarkan pada
peringkat dalam satu tahun terakhir yang diakui oleh Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai
lembaga pemeringkat dan peringkat. Apabila peringkat yang
diterbitkan …
- 10 -
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir
tidak tersedia maka surat berharga dianggap tidak memiliki
peringkat.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan
dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada
masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi
terhadap agunan dimaksud.
Huruf g
Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus sesuai dengan
ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah
pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap
agunan dimaksud. Pemasangan hak tanggungan atas tanah
beserta mesin yang berada diatasnya harus dicantumkan dengan
jelas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan resi gudang adalah resi gudang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun
2006 tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan perundangundangan
lainnya. Hak jaminan atas resi gudang adalah hak
jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan
utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi
penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain.
Angka 14…
- 11 -
Angka 14
Pasal 42
Huruf a
Untuk agunan berupa giro, tabungan dan deposito yang berada
di bank umum konvensional yang dapat diperhitungkan sebagai
pengurang agunan hanya pokok simpanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan Penilaian adalah pernyataan tertulis dari
Penilai Independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran
dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva
tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan
relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku
umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan instansi yang
berwenang.
Angka 15
Pasal 43
Yang dimaksud dengan nilai wajar adalah mengacu kepada standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Angka 16…
- 12 -
Angka 16
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud kebijakan dan prosedur tertulis antara lain
pejabat dan satuan kerja yang berwenang terhadap proses
restrukturisasi, dan proses analisis penyediaan dana yang akan
direstrukturisasi serta laporan restrukturisasi secara berkala.
Ayat (2)
Dalam hal Bank memperkirakan kondisi usaha nasabah
mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan dalam
pembayaran atau pemenuhan kewajibannya, harus didukung
oleh analisa dan bukti-bukti yang memadai serta
terdokumentasi dengan baik.
Ayat (3)
Yang dimaksud sesuai dengan prinsip syariah antara lain
mengacu kepada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau
bagi hasil/marjin/fee kurang dari 1 (satu) bulan,
peningkatan kualitas menjadi Lancar dapat dilakukan
secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
dilakukan restrukturisasi.
Huruf b…
- 13 -
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pembiayaan yang direstrukturisasi mencakup Pembiayaan
kepada Usaha Kecil dan Menengah maupun Non Usaha Kecil
dan Menengah.
Angka 17
Pasal 46A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4733