(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi
Yudisial wajib:
a. menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia
Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
(4) Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta
Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial
diterima.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2004
TENTANG
KOMISI YUDISIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta
pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Yudisial;
Mengingat:
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4359);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI YUDISIAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR adalah
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Hakim Agung adalah hakim anggota pada Mahkamah Agung.
5. Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
6. Lingkungan Peradilan adalah badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata
usaha negara, serta pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut.
7. Hari adalah hari kerja.
BAB II
KEDUDUKAN DAN SUSUNAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Pasal 3
Komisi Yudisial berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Susunan
Pasal 4
Komisi Yudisial terdiri atas pimpinan dan anggota.
Pasal 5
Pimpinan Komisi Yudisial terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang merangkap
Anggota.
Pasal 6
(1) Komisi Yudisial mempunyai 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara.
(3) Keanggotaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas mantan
hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
Pasal 7
(1) Pimpinan Komisi Yudisial dipilih dari dan oleh Anggota Komisi Yudisial.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan pimpinan Komisi Yudisial diatur oleh Komisi
Yudisial.
Bagian Ketiga
Hak Protokoler, Keuangan, dan Tindakan Kepolisian
Pasal 8
Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial
diberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat negara.
Pasal 9
Anggaran Komisi Yudisial dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 10
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan hanya
atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidana kejahatan
terhadap keamanan negara.
(2) Pelaksanaan penangkapan atau penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam waktu paling lama 2 X 24 (dua kali dua puluh empat) jam harus dilaporkan kepada
Jaksa Agung.
Bagian Keempat
Sekretariat Jenderal
Pasal 11
(1) Komisi Yudisial dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris
Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil.
Pasal 12
(1) Sekretariat Jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan teknis administratif
kepada Komisi Yudisial.
(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, tanggung jawab, dan tata kerja
Sekretariat Jenderal diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB III
WEWENANG DAN TUGAS
Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a,
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
(2) Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan
kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka
waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan dari
Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung.
Pasal 15
(1) Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan
mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi Yudisial mengumumkan pendaftaran
penerimaan calon Hakim Agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut.
(2) Mahkamah Agung, Pemerintah, dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung
kepada Komisi Yudisial.
(3) Pengajuan calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran
penerimaan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
(1) Pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan
persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan calon hakim agung
harus memenuhi persyaratan administrasi dengan menyerahkan sekurang-kurangnya:
a. daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan;
b. ijazah asli atau yang telah dilegalisasi;
c. surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah sakit pemerintah;
d. daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon; dan
e. Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 17
(1) Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya masa pengajuan
calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), Komisi Yudisial melakukan
seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung.
(2) Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah memenuhi
persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak pemberian informasi atau pendapat berakhir.
Pasal 18
(1) Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon
Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang
telah ditetapkan.
(2) Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik
yang telah ditentukan.
(3) Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah diterima Komisi Yudisial,
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan.
(4) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terbuka dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
(5) Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan
mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu)
lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Pasal 19
(1) DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Presiden dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima nama calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5).
(2) Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang
diajukan DPR.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui tanpa ada
penetapan, Presiden berwenang mengangkat Hakim Agung dari calon yang diajukan
Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5).
Pasal 20
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi
Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Pasal 21
Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b,
Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
Pasal 22
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi
Yudisial:
a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan
perilaku hakim;
c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik
perilaku hakim; dan
e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya
disampaikan kepada Presiden dan DPR.
(5) Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk
memberikan keterangan atau data yang diminta.
(6) Dalam hal badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap tidak melaksanakan kewajibannya, pimpinan
badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(7) Semua keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh Komisi Yudisial.
Pasal 23
(1) Sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap
hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara; atau
c. pemberhentian.
(2) Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan
kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
(3) Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c
diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi.
(4) Hakim yang akan dijatuhi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi
kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(5) Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas)
hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim.
(6) Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima usul Mahkamah Agung.
Pasal 24
(1) Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya
dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
(2) Ketentuan mengenai kriteria pemberian penghargaan diatur oleh Komisi Yudisial.
Pasal 25
(1) Pengambilan keputusan Komisi Yudisial dilakukan secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.
(2) Apabila pengambilan keputusan secara musyawarah tidak tercapai, pengambilan
keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sah apabila rapat dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan
mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian
Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh anggota
Komisi Yudisial.
(4) Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-turut atas keputusan mengenai
pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian hakim agung
dan/atau hakim Mahkamah Konstitusi maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh
5 (lima) orang anggota.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Pertama
Pengangkatan
Pasal 26
Untuk dapat diangkat menjadi Anggota Komisi Yudisial harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa;
c. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 68 (enam puluh delapan)
tahun pada saat proses pemilihan;
d. mempunyai pengalaman di bidang hukum paling singkat 15 (lima belas) tahun;
e. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
h. melaporkan daftar kekayaan.
Pasal 27
(1) Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
(2) Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Presiden
dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak menerima pencalonan
Anggota Komisi Yudisial yang diajukan Presiden.
(3) Presiden menetapkan keputusan mengenai pengangkatan Anggota Komisi Yudisial,
dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima persetujuan DPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 28
(1) Sebelum mengajukan calon Anggota Komisi Yudisial kepada DPR, Presiden
membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Anggota Komisi Yudisial.
(2) Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah,
praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
(3) Panitia Seleksi mempunyai tugas:
a. mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Anggota Komisi Yudisial dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari;
b. melakukan pendaftaran dan seleksi administrasi serta seleksi kualitas dan
integritas calon Anggota Komisi Yudisial dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak pengumuman pendaftaran berakhir;
c. menentukan dan menyampaikan calon Anggota Komisi Yudisial sebanyak 14
(empat belas) calon, dengan memperhatikan komposisi Anggota Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Panitia Seleksi
bekerja secara transparan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat.
(5) Dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak menerima nama calon dari Panitia
Seleksi, Presiden mengajukan 14 (empat belas) nama calon Anggota Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c kepada DPR.
(6) DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden.
(7) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lambat 15 (lima
belas) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden.
(8) Presiden wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak tanggal diterimanya surat Pimpinan DPR.
Pasal 29
Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 30
(1) Sebelum memangku jabatannya Anggota Komisi Yudisial wajib mengucapkan sumpah
atau janji secara bersama-sama menurut agamanya di hadapan Presiden.
(2) Anggota Komisi Yudisial yang berhalangan mengucapkan sumpah atau janji secara
bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengucapkan sumpah atau janji di
hadapan Ketua Komisi Yudisial.
(3) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk melaksanakan
tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan
wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak
membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, gender, dan golongan tertentu dan akan
melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima
atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh
melaksanakan wewenang dan tugas saya yang diamanatkan Undang-undang kepada
saya”.
Pasal 31
Anggota Komisi Yudisial dilarang merangkap menjadi:
a. pejabat negara atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan;
b. hakim;
c. advokat;
d. notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah;
e. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara atau badan usaha
swasta;
f. pegawai negeri; atau
g. pengurus partai politik.
Bagian Kedua
Pemberhentian
Pasal 32
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial apabila:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; atau
d. berakhir masa jabatannya.
Pasal 33
(1) Ketua, Wakil Ketua, Anggota Komisi Yudisial diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atas usul Komisi Yudisial dengan
alasan:
a. melanggar sumpah jabatan;
b. dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan perbuatan tercela;
d. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
atau
e. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan setelah yang bersangkutan diberi
kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Dewan Kehormatan Komisi
Yudisial.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Dewan Kehormatan Komisi
Yudisial diatur oleh Komisi Yudisial.
Pasal 34
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial sebelum diberhentikan tidak dengan
hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat diberhentikan sementara
dari jabatannya oleh Presiden, atas usul Komisi Yudisial.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
Pasal 35
(1) Apabila terhadap seorang Anggota Komisi Yudisial ada perintah penangkapan yang
diikuti dengan penahanan, Anggota Komisi Yudisial tersebut diberhentikan sementara
dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Anggota Komisi Yudisial dituntut di muka pengadilan dalam perkara
pidana tanpa ditahan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, yang
bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 36
Pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian
sementara serta hak-hak Anggota Komisi Yudisial selaku pejabat negara dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon
anggota pengganti sebanyak 2 (dua) kali dari jumlah keanggotaan yang kosong kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon Anggota Komisi Yudisial
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal
27, dan Pasal 28.
BAB V
PERTANGGUNGJAWABAN DAN LAPORAN
Pasal 38
(1) Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik melalui DPR.
(2) Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara:
a. menerbitkan laporan tahunan; dan
b. membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. laporan penggunaan anggaran;
b. data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan
c. data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada
Presiden.
(5) Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut
ketentuan undang-undang.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Selama keanggotaan Komisi Yudisial belum terbentuk berdasarkan Undang-Undang ini,
pencalonan Hakim Agung dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
(1) Anggota Komisi Yudisial ditetapkan paling lambat 10 (sepuluh) bulan terhitung sejak
tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Komisi Yudisial melaksanakan wewenang dan tugasnya paling lambat 10 (sepuluh)
bulan terhitung sejak ditetapkannya Anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 41
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Agustus 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Agustus 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 89
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2004
TENTANG
KOMISI YUDISIAL
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, salah satu substansi penting perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah adanya Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial tersebut merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan
landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances. Walaupun
Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 24B ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa susunan,
kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Dalam Undang-Undang ini diatur secara rinci mengenai wewenang dan tugas Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, yakni Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan dengan wewenang tersebut, dalam
Undang-Undang ini juga diatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian Anggota
Komisi Yudisial. Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial ini diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain hal-hal yang ditentukan di atas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai
larangan merangkap jabatan bagi Anggota Komisi Yudisial. Di samping itu diatur pula
mengenai panitia seleksi untuk mempersiapkan calon Anggota Komisi Yudisial, beserta
syarat dan tata caranya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “seleksi” dalam ketentuan ini meliputi penelitian
administrasi, pengumuman untuk mendapatkan masukan masyarakat terhadap
pribadi dan tingkah laku calon, rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berturut-turut” dalam ketentuan ini adalah pengumuman yang
dilakukan secara terus menerus di tempat pengumuman Komisi Yudisial dan dapat pula
diumumkan dalam mass media paling sedikit 2 (dua) kali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bagi yang sudah menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyerahkan bukti, dan bagi yang belum menyerahkan,
melaporkan daftar harta kekayaannya.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Seleksi terhadap kualitas bakal calon adalah seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial untuk
menilai kecakapan, kemampuan, integritas, dan moral bakal calon dalam melaksanakan
tugasnya di bidang peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “karya ilmiah” adalah karya dalam bentuk tulisan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dalam ketentuan ini adalah hari persidangan dan tidak
termasuk masa reses.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Penjatuhan sanksi ini diajukan kepada Mahkamah Agung untuk hakim agung dan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk hakim Mahkamah Konstitusi.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan” dalam ketentuan ini misalnya tidak memperlakukan semena-mena
terhadap hakim yang dipanggil untuk memperoleh keterangan atau tidak memperlakukan
hakim seolah-olah sebagai tersangka atau terdakwa. Hal ini untuk menjaga hak dan
martabat hakim yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “hakim” dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor, hakim
terlapor, atau hakim lain yang terkait.
Yang dimaksud dengan “keterangan” dalam ketentuan ini dapat diberikan secara lisan
dan/atau tertulis.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pada ayat ini hanya dalam proses
melakukan tugas secara internal.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Keputusan mengenai pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi
yang dimaksud dalam ketentuan ini memuat alasan tertulis bagi anggota yang setuju
maupun yang tidak setuju.
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “tidak tercela” adalah perbuatan yang tidak merendahkan
martabat Anggota Komisi Yudisial.
Huruf f
Sehat jasmani dan rohani dalam ketentuan ini dibuktikan dengan surat keterangan dari
dokter pemerintah.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Untuk melaporkan daftar kekayaan, setiap calon membuat pernyataan kesanggupan
mengumumkan harta kekayaan setelah menjadi Anggota Komisi Yudisial sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari dalam ketentuan ini tidak termasuk masa reses.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Lihat penjelasan Pasal 27 ayat (2).
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Selama menjadi Anggota Komisi Yudisial, advokat tidak boleh menjalankan profesinya.
Huruf d
Selama menjadi Anggota Komisi Yudisial, notaris tidak boleh menjalankan profesinya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 32
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan mengenai sakit jasmani atau rohani terus menerus diperlukan keterangan
dokter yang ditunjuk khusus untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh, terutama bagi
mereka yang telah mencapai umur di atas 68 (enam puluh delapan) tahun.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perbuatan tercela” adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Anggota Komisi Yudisial.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Pemberhentian sementara dilakukan karena proses penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan yang diikuti dengan penahanan, menyebabkan yang
bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas sebagai Anggota Komisi Yudisial.
Ayat (2)
Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang
bersangkutan untuk melaksanakan proses peradilan tanpa dibebani tugas sebagai
Anggota Komisi Yudisial.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan antara lain mengenai jumlah
laporan atau aduan yang masuk, jumlah laporan atau aduan yang ditindaklanjuti
dan yang tidak beserta alasannya, hasil pencarian fakta atas dugaan pelanggaran
atau penyalahgunaan kekuasaan oleh Hakim dan rekomendasi sanksi yang
diberikan kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden.
Huruf c
Data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen hakim agung antara lain jumlah
usulan bakal calon dari masyarakat, alasan diterima atau ditolaknya seorang bakal
calon, jumlah laporan atau pengaduan terhadap bakal calon yang masuk, jumlah
laporan yang ditindaklanjuti dan yang tidak beserta alasannya, dan alasan dalam
merekomendasikan bakal calon Hakim Agung ke DPR.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4415
Jumat, 23 Oktober 2009
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN
DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan
kedudukan di dalam hukum, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan
ketentuan mengenai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi
landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara;
c. bahwa paham dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam praktek
kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang
bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup
bangsa Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b dan c perlu membentuk Undangundang
tentang Perubahan Kitab Undang-undang tujukan Pidana yang Berkaitan
dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
No.XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan
Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi
Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme jo.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.V/MPR/1973
tentang Peninjauan Produk-produk Yang Berupa Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Undangundang
Nomor 73 tahun 1958 tentang Menyalakan Berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan berikutnya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana Kejahatan Terhadap Penerbangan dan kejahatan
Terhadap sarana/prasarana penerbangan.
Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN
NEGARA
Pasal 1
Menambah 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I Buku 11
Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
yang dijadikan Pasal 107a, Pasal 107b, Pasal 107c, Pasal 107d, Pasal 107e, dan Pasal
107f yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 107a
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107b
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari
atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan
dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107c
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107d
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun.
Pasal 107e
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga
menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk
dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan
kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya
berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala,
bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal 107f
Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama
20 (dua puluh) tahun:
a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat
dipakai, menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer;
atau diundangkan
b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan
pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang
banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.”
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PROE DR H MULADI, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 74
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN
DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum yang berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia, serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pembangunan nasional di
bidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan serta memberikan
rasa aman dan tentram. Dalam usaha mempertahankan Pancasila sebagai dasar
negara dari ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang
terbukti bertentangan dengan agama, asas-asas dan sendi kehidupan bangsa
Indonesia yang bertuhan dan dari tindak pidana lainnya yang membahayakan
keamanan negara, perlu mengadakan perubahan terhadap Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dengan menambah pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan
terhadap keamanan negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal l
Pasal 107 a
Yang dimaksud dengan "Komunisme/Marxisme-Leninisme" adalah paham atau ajaran
Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin,
Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang
bertentangan dengan falsafah Pancasila.
Pasal 107 b
Cukup jelas
Pasal 107 c
Cukup jelas
Pasal 107 d
Cukup jelas
Pasal 107 e
Cukup jelas
Pasal 107 f
Yang dimaksud dengan "instalasi negara" dalam pasal ini adalah instalasi Tertentu
(penting) yaitu Istana Negara yang digunakan oleh Presiden dan Wakil Presiden untuk
kegiatan kenegaraan, kediaman resmi Presiden dan Wakil Presiden, gedung-gedung
Lembaga Tinggi Negara dan gedung,yang Digunakan untuk tamu-tamu Negara yang
setingkat dengan Presiden. Yang dimaksud dengan "instalasi militer" adalah instalasi vital
militer.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3850
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN
DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan
kedudukan di dalam hukum, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan
ketentuan mengenai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi
landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara;
c. bahwa paham dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam praktek
kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang
bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup
bangsa Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b dan c perlu membentuk Undangundang
tentang Perubahan Kitab Undang-undang tujukan Pidana yang Berkaitan
dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
No.XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan
Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi
Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme jo.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.V/MPR/1973
tentang Peninjauan Produk-produk Yang Berupa Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Undangundang
Nomor 73 tahun 1958 tentang Menyalakan Berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan berikutnya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana Kejahatan Terhadap Penerbangan dan kejahatan
Terhadap sarana/prasarana penerbangan.
Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN
NEGARA
Pasal 1
Menambah 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I Buku 11
Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
yang dijadikan Pasal 107a, Pasal 107b, Pasal 107c, Pasal 107d, Pasal 107e, dan Pasal
107f yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 107a
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107b
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari
atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan
dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107c
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107d
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun.
Pasal 107e
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga
menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk
dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan
kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya
berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala,
bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal 107f
Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama
20 (dua puluh) tahun:
a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat
dipakai, menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer;
atau diundangkan
b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan
pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang
banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.”
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PROE DR H MULADI, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 74
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN
DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum yang berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia, serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pembangunan nasional di
bidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan serta memberikan
rasa aman dan tentram. Dalam usaha mempertahankan Pancasila sebagai dasar
negara dari ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang
terbukti bertentangan dengan agama, asas-asas dan sendi kehidupan bangsa
Indonesia yang bertuhan dan dari tindak pidana lainnya yang membahayakan
keamanan negara, perlu mengadakan perubahan terhadap Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dengan menambah pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan
terhadap keamanan negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal l
Pasal 107 a
Yang dimaksud dengan "Komunisme/Marxisme-Leninisme" adalah paham atau ajaran
Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin,
Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang
bertentangan dengan falsafah Pancasila.
Pasal 107 b
Cukup jelas
Pasal 107 c
Cukup jelas
Pasal 107 d
Cukup jelas
Pasal 107 e
Cukup jelas
Pasal 107 f
Yang dimaksud dengan "instalasi negara" dalam pasal ini adalah instalasi Tertentu
(penting) yaitu Istana Negara yang digunakan oleh Presiden dan Wakil Presiden untuk
kegiatan kenegaraan, kediaman resmi Presiden dan Wakil Presiden, gedung-gedung
Lembaga Tinggi Negara dan gedung,yang Digunakan untuk tamu-tamu Negara yang
setingkat dengan Presiden. Yang dimaksud dengan "instalasi militer" adalah instalasi vital
militer.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3850
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002
1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan
secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan
negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 3
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal 4
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 5
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. kepentingan umum; dan
e. proporsionalitas.
BAB II
TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN
Pasal 6
3
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
publik.
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan,
kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta
alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian
atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi
yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
4
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif,
atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak
pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 10
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi
memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke
luar negeri;
c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan
keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir
rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang
terkait;
e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan
sementara tersangka dari jabatannya;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi
yang terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti
awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa;
h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk
melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 13
5
Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara
negara;
b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana
korupsi;
e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Pasal 14
Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara
dan pemerintah;
b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan
perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi
mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
Pasal 15
Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban:
a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;
b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan
untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi
yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
d. menegakkan sumpah jabatan;
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
BAB III
TATA CARA PELAPORAN DAN PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI
Pasal 16
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut:
a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan
gratifikasi.
b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat:
6
1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5) nilai gratifikasi yang diterima.
Pasal 17
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi
disertai pertimbangan.
(2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan
keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
(3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi
milik negara.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan
gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
(6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 18
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik
negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara.
BAB IV
TEMPAT KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 19
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan
wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Pasal 20
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan
tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan.
(2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
cara:
a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan
program kerjanya;
b. menerbitkan laporan tahunan; dan
c. membuka akses informasi.
7
Pasal 21
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas
a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi;
b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan
c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
disusun sebagai berikut:
a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan
b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang, masingmasing
merangkap Anggota.
(3) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah pejabat negara.
(4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah penyidik dan penuntut umum.
(5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja
secara kolektif.
(6) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 22
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan.
(2) Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan
mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat.
(4) Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan terlebih
dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan diangkat oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi
pemilihan.
(5) Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan mengajukan 8
(delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipilih
4 (empat) orang anggota.
(6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi pemilihan
dibentuk.
Pasal 23
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 24
(1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah warga negara
Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
8
(2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai
pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan
Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 25
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi:
a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala
Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi;
c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 26
(1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4
(empat) bidang yang terdiri atas:
a. Bidang Pencegahan;
b. Bidang Penindakan;
c. Bidang Informasi dan Data; dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
(3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan:
a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara;
b. Subbidang Gratifikasi;
c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan
d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.
(4) Bidang Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membawahkan:
a. Subbidang Penyelidikan;
b. Subbidang Penyidikan; dan
c. Subbidang Penuntutan.
(5) Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c membawahkan:
a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data;
b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi;
c. Subbidang Monitor.
(6) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d membawahkan:
a. Subbidang Pengawasan Internal;
b. Subbidang Pengaduan Masyarakat.
(7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang Penuntutan, masingmasing
membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai dengan kebutuhan subbidangnya.
9
(8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dibantu
oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia.
(3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 28
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB V
PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pasal 29
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau
perbankan;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam
puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi;
j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
k. mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon
anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
(2) Untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi, Pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
10
(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur
pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengumumkan
penerimaan calon.
(5) Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus menerus.
(6) Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap
nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling
lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan.
(8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden
Republik Indonesia.
(9) Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama
calon dari panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia menyampaikan nama calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(10) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima)
calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia.
(11) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara
calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon
anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua.
(12) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala
Negara.
(13) Presiden Republik Indonesia wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Pasal 31
Proses pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dilakukan secara transparan.
Pasal 32
(1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. berakhir masa jabatannya;
c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;
d. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak
dapat melaksanakan tugasnya;
e. mengundurkan diri; atau
f. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden
Republik Indonesia.
Pasal 33
11
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik
Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
(2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan
Pasal 31.
Pasal 34
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Pasal 35
(1) Sebelum memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi wajib
mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang
saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membedabedakan
jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan
kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau
tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh
melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepada saya”.
Pasal 36
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang
ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan alasan apa pun;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus
koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan
tersebut.
Pasal 37
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai
yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
12
BAB VI
PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku
juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 39
(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan
selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 41
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 42
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang
tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Bagian Kedua
Penyelidikan
13
Pasal 43
(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan tindak
pidana korupsi.
Pasal 44
(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurangkurangnya
2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.
(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan,
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan
perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bagian Ketiga
Penyidikan
Pasal 45
(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak
pidana korupsi.
Pasal 46
(1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka
pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak
mengurangi hak-hak tersangka.
Pasal 47
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas
penyidikannya.
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan
penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
14
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada
hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita;
b. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain
tersebut;
d. tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan
e. tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.
(4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
tersangka atau keluarganya.
Pasal 48
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan
kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Pasal 49
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.
Pasal 50
(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum
melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh
kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan
penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan
tersebut segera dihentikan.
Bagian Keempat
Penuntutan
Pasal 51
(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan
tindak pidana korupsi.
(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 52
15
(1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan
berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima
pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.
BAB VII
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 53
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 54
(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh
wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.
Pasal 55
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) juga berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik
Indonesia oleh warga negara Indonesia.
Pasal 56
(1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim
ad hoc.
(2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan
pengumuman kepada masyarakat.
Pasal 57
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
b. berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi;
c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya; dan
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.
(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
16
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal 58
(1) Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Pasal 59
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan
Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 juga berlaku bagi hakim ad hoc pada
Pengadilan Tinggi.
Pasal 60
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang
hakim ad hoc.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
17
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal 61
(1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad hoc wajib mengucapkan sumpah/janji menurut
agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur,
seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi
etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya
seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 62
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
BAB VIII
REHABILITASI DAN KOMPENSASI
Pasal 63
(1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-
Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk
mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan
untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(4) Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis,
jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus
dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
18
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 64
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 65
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 66
Dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada
Komisi Pemberantasan Korupsi yang :
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang
terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi
tanpa alasan yang sah;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan
jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal 67
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga)
dari ancaman pidana pokok.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses
hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil
alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
Pasal 69
(1) Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi maka Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
19
(2) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi
menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu)
tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 71
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku;
(2) Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 72
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 137
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
20
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II,
Ttd.
Edy Sudibyo
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I. UMUM
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya
yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara
pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak
pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional
selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan
kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut
tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung
jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut
di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai
institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut.
21
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism);
4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh
ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1) ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang
sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
2) ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada
hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
3) ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan
menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4) ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan
5) ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber
daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-
Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat
konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang
semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur
masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan
masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit
22
and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang
kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang
kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap
dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara
sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh
masyarakat luas.
Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan
berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu
didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota
negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi
Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara
tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini
diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum,
yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan
tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan
Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat
banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang
hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat
pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.
Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai
ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum
yang berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat
mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara
23
individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara
tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :
a. “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan
tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
c. “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan
Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
d. “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
e. “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang,
tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara,
inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga
jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap
dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi
Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk
menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat
(1) huruf i.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
24
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau korporasi.
Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti
yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari kerugian
negara yang lebih besar.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,
Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara
untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
25
Cukup jelas
Pasal 15
Huruf a
Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga
pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian
identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 16
Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
26
Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan
keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
27
Huruf i
Yang dimaksud dengan “jabatan lainnya” misalnya komisaris atau direksi, baik pada Badan
Usaha Milik Negara atau swasta.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “profesinya”, misalnya advokat, akuntan publik, atau dokter.
Huruf k
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Yang dimaksud dengan “transparan” adalah masyarakat dapat mengikuti proses dan mekanisme
pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan”
dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
28
Cukup jelas
Pasal 41
Yang dimaksud “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi
tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan
tanggal yang sama dimulainya penyidikan.
29
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menetapkan hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Ketua Mahkamah Agung dapat menyeleksi hakim yang bertugas pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang
akan diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman dapat
dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan
tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
30
Cukup jelas
Pasal 62
Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan untuk
pemeriksaan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Yang dimaksud dengan “biaya” termasuk juga biaya untuk pembayaran rehabilitasi dan
kompensasi.
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4250
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan
secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan
negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 3
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal 4
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 5
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. kepentingan umum; dan
e. proporsionalitas.
BAB II
TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN
Pasal 6
3
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
publik.
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan,
kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta
alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian
atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi
yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
4
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif,
atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak
pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 10
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi
memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke
luar negeri;
c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan
keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir
rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang
terkait;
e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan
sementara tersangka dari jabatannya;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi
yang terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti
awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa;
h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk
melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 13
5
Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara
negara;
b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana
korupsi;
e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Pasal 14
Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara
dan pemerintah;
b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan
perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi
mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
Pasal 15
Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban:
a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;
b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan
untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi
yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
d. menegakkan sumpah jabatan;
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
BAB III
TATA CARA PELAPORAN DAN PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI
Pasal 16
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut:
a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan
gratifikasi.
b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat:
6
1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5) nilai gratifikasi yang diterima.
Pasal 17
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi
disertai pertimbangan.
(2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan
keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
(3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi
milik negara.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan
gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
(6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 18
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik
negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara.
BAB IV
TEMPAT KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 19
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan
wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Pasal 20
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan
tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan.
(2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
cara:
a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan
program kerjanya;
b. menerbitkan laporan tahunan; dan
c. membuka akses informasi.
7
Pasal 21
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas
a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi;
b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan
c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
disusun sebagai berikut:
a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan
b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang, masingmasing
merangkap Anggota.
(3) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah pejabat negara.
(4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah penyidik dan penuntut umum.
(5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja
secara kolektif.
(6) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 22
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan.
(2) Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan
mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat.
(4) Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan terlebih
dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan diangkat oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi
pemilihan.
(5) Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan mengajukan 8
(delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipilih
4 (empat) orang anggota.
(6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi pemilihan
dibentuk.
Pasal 23
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 24
(1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah warga negara
Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
8
(2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai
pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan
Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 25
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi:
a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala
Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi;
c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 26
(1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4
(empat) bidang yang terdiri atas:
a. Bidang Pencegahan;
b. Bidang Penindakan;
c. Bidang Informasi dan Data; dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
(3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan:
a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara;
b. Subbidang Gratifikasi;
c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan
d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.
(4) Bidang Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membawahkan:
a. Subbidang Penyelidikan;
b. Subbidang Penyidikan; dan
c. Subbidang Penuntutan.
(5) Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c membawahkan:
a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data;
b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi;
c. Subbidang Monitor.
(6) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d membawahkan:
a. Subbidang Pengawasan Internal;
b. Subbidang Pengaduan Masyarakat.
(7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang Penuntutan, masingmasing
membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai dengan kebutuhan subbidangnya.
9
(8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dibantu
oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia.
(3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 28
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB V
PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pasal 29
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau
perbankan;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam
puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi;
j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
k. mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon
anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
(2) Untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi, Pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
10
(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur
pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengumumkan
penerimaan calon.
(5) Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus menerus.
(6) Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap
nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling
lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan.
(8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden
Republik Indonesia.
(9) Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama
calon dari panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia menyampaikan nama calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(10) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima)
calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia.
(11) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara
calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon
anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua.
(12) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala
Negara.
(13) Presiden Republik Indonesia wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Pasal 31
Proses pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dilakukan secara transparan.
Pasal 32
(1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. berakhir masa jabatannya;
c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;
d. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak
dapat melaksanakan tugasnya;
e. mengundurkan diri; atau
f. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden
Republik Indonesia.
Pasal 33
11
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik
Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
(2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan
Pasal 31.
Pasal 34
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Pasal 35
(1) Sebelum memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi wajib
mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang
saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membedabedakan
jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan
kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau
tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh
melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepada saya”.
Pasal 36
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang
ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan alasan apa pun;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus
koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan
tersebut.
Pasal 37
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai
yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
12
BAB VI
PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku
juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 39
(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan
selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 41
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 42
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang
tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Bagian Kedua
Penyelidikan
13
Pasal 43
(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan tindak
pidana korupsi.
Pasal 44
(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurangkurangnya
2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.
(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan,
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan
perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bagian Ketiga
Penyidikan
Pasal 45
(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak
pidana korupsi.
Pasal 46
(1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka
pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak
mengurangi hak-hak tersangka.
Pasal 47
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas
penyidikannya.
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan
penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
14
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada
hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita;
b. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain
tersebut;
d. tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan
e. tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.
(4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
tersangka atau keluarganya.
Pasal 48
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan
kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Pasal 49
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.
Pasal 50
(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum
melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh
kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan
penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan
tersebut segera dihentikan.
Bagian Keempat
Penuntutan
Pasal 51
(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan
tindak pidana korupsi.
(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 52
15
(1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan
berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima
pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.
BAB VII
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 53
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 54
(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh
wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.
Pasal 55
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) juga berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik
Indonesia oleh warga negara Indonesia.
Pasal 56
(1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim
ad hoc.
(2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan
pengumuman kepada masyarakat.
Pasal 57
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
b. berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi;
c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya; dan
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.
(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
16
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal 58
(1) Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Pasal 59
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan
Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 juga berlaku bagi hakim ad hoc pada
Pengadilan Tinggi.
Pasal 60
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang
hakim ad hoc.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
17
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal 61
(1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad hoc wajib mengucapkan sumpah/janji menurut
agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur,
seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi
etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya
seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 62
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
BAB VIII
REHABILITASI DAN KOMPENSASI
Pasal 63
(1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-
Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk
mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan
untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(4) Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis,
jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus
dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
18
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 64
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 65
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 66
Dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada
Komisi Pemberantasan Korupsi yang :
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang
terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi
tanpa alasan yang sah;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan
jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal 67
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga)
dari ancaman pidana pokok.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses
hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil
alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
Pasal 69
(1) Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi maka Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
19
(2) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi
menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu)
tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 71
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku;
(2) Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 72
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 137
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
20
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II,
Ttd.
Edy Sudibyo
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I. UMUM
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya
yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara
pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak
pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional
selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan
kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut
tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung
jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut
di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai
institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut.
21
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism);
4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh
ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1) ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang
sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
2) ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada
hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
3) ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan
menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4) ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan
5) ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber
daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-
Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat
konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang
semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur
masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan
masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit
22
and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang
kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang
kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap
dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara
sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh
masyarakat luas.
Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan
berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu
didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota
negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi
Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara
tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini
diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum,
yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan
tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan
Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat
banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang
hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat
pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.
Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai
ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum
yang berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat
mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara
23
individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara
tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :
a. “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan
tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
c. “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan
Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
d. “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
e. “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang,
tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara,
inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga
jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap
dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi
Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk
menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat
(1) huruf i.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
24
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau korporasi.
Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti
yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari kerugian
negara yang lebih besar.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,
Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara
untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
25
Cukup jelas
Pasal 15
Huruf a
Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga
pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian
identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 16
Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
26
Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan
keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
27
Huruf i
Yang dimaksud dengan “jabatan lainnya” misalnya komisaris atau direksi, baik pada Badan
Usaha Milik Negara atau swasta.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “profesinya”, misalnya advokat, akuntan publik, atau dokter.
Huruf k
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Yang dimaksud dengan “transparan” adalah masyarakat dapat mengikuti proses dan mekanisme
pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan”
dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
28
Cukup jelas
Pasal 41
Yang dimaksud “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi
tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan
tanggal yang sama dimulainya penyidikan.
29
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menetapkan hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Ketua Mahkamah Agung dapat menyeleksi hakim yang bertugas pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang
akan diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman dapat
dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan
tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
30
Cukup jelas
Pasal 62
Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan untuk
pemeriksaan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Yang dimaksud dengan “biaya” termasuk juga biaya untuk pembayaran rehabilitasi dan
kompensasi.
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4250
Langganan:
Postingan (Atom)