Jumat, 23 Oktober 2009

UNDANG UNDANG NO 4 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2004
TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
b. bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu
dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 2
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 3
(1) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan
ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.
Pasal 4
(1) Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
(3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dipidana.
Pasal 5
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 6
(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan
oleh undang-undang.
(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian
yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Pasal 7
Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang.
Pasal 8
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 9
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti
kerugian diatur dalam undang-undang.
BAB II
BADAN PERADILAN DAN ASASNYA
Pasal 10
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara.
Pasal 11
(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
(2) Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang;
dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
(3) Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat
kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
(4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 12
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 13
(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan
dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
(3) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undangundang
sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Pasal 14
(1) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang
tersendiri.
(2) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 diatur dengan undang-undang.
Pasal 15
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.
(2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Pasal 16
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara
perdata secara perdamaian.
Pasal 17
(1) Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3
(tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai ketua dan
lainnya sebagai hakim anggota sidang.
(3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan
panitera.
(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang
menentukan lain.
Pasal 18
(1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai,
putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
Pasal 19
(1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan putusan
batal demi hukum.
(3) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
(4) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan.
(5) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang
berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(6) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur
oleh Mahkamah Agung.
Pasal 20
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
Pasal 21
(1) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan
tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari
dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada
pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan
lain.
Pasal 22
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah
Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 23
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak
yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,
apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Pasal 24
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan
umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung
perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 25
(1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera
yang ikut serta bersidang.
(3) Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang
ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.
Pasal 26
Untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.
BAB III
HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA
Pasal 27
Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada
lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.
BAB IV
HAKIM DAN KEWAJIBANNYA
Pasal 28
(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa.
Pasal 29
(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.
(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk
mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili
perkaranya.
(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun
telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili
atau advokat.
(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang
diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak
sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif
atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti, dan juru sita untuk
masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agamanya.
(2) Sumpah atau janji hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Sumpah:
”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaikbaiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
(3) Lafal sumpah atau janji panitera, panitera pengganti, atau juru sita adalah sebagaimana
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB V
KEDUDUKAN HAKIM DAN PEJABAT PERADILAN
Pasal 31
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 32
Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
Pasal 33
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Pasal 34
(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi
Yudisial yang diatur dengan undang-undang.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur
dalam undang-undang.
(3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan
hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 35
Panitera, panitera pengganti, dan juru sita adalah pejabat peradilan yang pengangkatan dan
pemberhentiannya serta tugas pokoknya diatur dalam undang-undang.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 36
(1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.
(3) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru
sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
(4) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 37
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 38
Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan
berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.
Pasal 39
Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu
penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
Pasal 40
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dalam undang-undang.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 41
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam
undang-undang.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan
peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.
(2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama
selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
(3) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai
dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
(4) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(5) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lambat:
a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berakhir;
b. 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) berakhir.
Pasal 43
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1):
a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha
Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan
tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi
pegawai pada Mahkamah Agung;
b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan
pengadilan tinggi tata usaha negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima
tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung;
c. semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi
serta pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara beralih ke
Mahkamah Agung.
Pasal 44
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2):
a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi
pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta
pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah
Agung;
b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama
beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung.
Pasal 45
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (3):
a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer;
b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri
sipil pada Mahkamah Agung.
Pasal 46
Mahkamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung
paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan Undang-
Undang ini.
Pasal 48
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3879) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 49
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 8
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2004
TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu
prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan
tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan
kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial
maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat 5
(lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan
peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama
yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama
dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama
Indonesia.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik,
dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi
mempunyai kewajiban memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku hakim.
Mengingat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan
kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara komprehensif.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara
kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan
kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari
keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan
kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera,
panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan
pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-
Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa
kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim
adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan
negara melalui perdamaian atau arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Ketentuan yang menentukan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan:
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masingmasing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.
Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara
dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif.
Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.
Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan
ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud ”dipidana” dalam ayat ini adalah bahwa unsur-unsur tindak pidana dan
pidananya ditentukan dalam undang-undang.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan
pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hakhak
lain.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (4).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini mengatur tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji tersebut dapat
dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan
perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundangundangan
tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”pengawasan tertinggi” dalam ketentuan ayat ini meliputi
pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua badan peradilan dibawahnya.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah
pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak
pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum,
dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Ayat (2)
Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam yang terdiri atas
Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat
banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134).
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ketentuan ayat (1) berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain adalah
ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim dalam
menerapkan hukumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan
militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik berat
kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan
di lingkungan peradilan umum.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan
dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga
putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”derajat ketiga” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk
apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara
tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”dipimpin” dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan
tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan
putusan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Sejalan dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak
bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau advokat sejak
ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan,
yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “organisasi, administrasi, dan finansial pada ayat ini adalah
organisasi, administrasi, dan finansial pada mahkamah militer agung atau pengadilan militer
utama, mahkamah militer tinggi atau pengadilan militer tinggi, dan mahkamah militer atau
pengadilan militer.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini masih tetap membolehkan penggunaan aset/barang inventaris yang ada
selama aset/barang inventaris tersebut belum tersedia di Mahkamah Agung.
Pasal 44
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lihat penjelasan Pasal 43 huruf c.
Pasal 45
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4358

Tidak ada komentar:

Posting Komentar