Senin, 06 April 2009

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA, REFORMASI KONSTITUSI DAN KEBIJAKAN LEGISLASI DALAM MASA TRANSISI MENUJU DEMOKRASI PASCA PERUBAHAN UUD`45

MAKALAH

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA, REFORMASI KONSTITUSI DAN KEBIJAKAN LEGISLASI DALAM MASA TRANSISI MENUJU DEMOKRASI PASCA PERUBAHAN UUD`45


BAB I
PENDAHULUAN
Politik hukum adalah aspek-aspek politis yang melatar-belakangi proses pembentukan hukum dan kebijakan suatu bidang tertentu, sekaligus juga akan sangat mempengaruhi kinerja lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait dalam bidang tersebut dalam mengaplikasikan ketentuan-ketentuan produk hukum dan kebijakan, dan juga dalam menentukan kebijakankebijakan lembaga-lembaga tersebut dalam tataran praktis dan operasional. Sedemikian pentingnya peranan politik hukum ini, sehingga ia dapat menentukan keberpihakan suatu produk hukum dan kebijakan.
Pada saat suatu rezim penguasa yang otoriter jatuh, maka terjadilah transisi kekuasaan kepada rezim penguasa yang baru, seiring dengan itu terjadi pulalah pewarisan sejumlah persoalan, salah satu diantaranya adalah persoalan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dalam segala bentuk dan tingkatannya, yang terjadi dan berlangsung pada pemerintahan yang lampau. Sehingga penguasa yang baru mau tidak mau berkewajiban untuk menyelesaikan atau setidaknya mencarikan jalan keluar dari persoalan pelanggaran HAM tersebut. Oleh karenanya dibutuhkan adanya perubahan atau reformasi konstitusi dari semula berkarakter represif menjadi berkarakter responsif, sehingga peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa otoritarian, yang menghambat proses demokratisasi dimasa transisi dicabut dan dan diganti dengan peraturan perundang-undangan yang lebih responsive .Terhadap keadaan masa lalu yang otoritarian yang di dalamnya sarat dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), refleksi dari transisi politik di berbagai negara cenderung menyelesaikannya dengan membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi (the truth and reconciliation commission) guna mencapai keadilan trasisional (transitional justice) dimana antara pelaku pelanggar HAM berat dan korban penggaran HAM berat difasilitasi oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dengan komitmen duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, untuk menguak masa lalu guna menata dan menatap serta merajut masa depan yang lebih baik, baik dengan disertai syarat reparasi (reparation) dan atau tanpa kewajiban bagi pelaku untuk memberikan kepada korban dan hak korban untuk menuntut atau menerima restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi.
Sejarah perjalanan dan perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama kurun waktu 62 tahun tidak pernah terlepas dari proses trial and error. Hal ini dilakukan semata-mata demi terciptanya kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Dinamika Hak Asasi Manusia

Sejak Negara Indonesia diproklamirkan menjadi Negara yang merdeka, para pendiri republik ini sepakat bahwa negara ini berlandaskan pada hukum (yang diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis) yang mencerminkan penghormatan kepada hak asasi manusia (HAM). Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia 1945 ditegaskan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan atas hukum ( rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Maachstaat). Gagasan negara yang berlandaskan konstitusi dan hukum juga secara jelas terekam dalam perdebatan di sidang pleno Kostituante pada saat membahas falsafah negara atau dasar negara, hak asasi manusia, dan pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun waktu 1956-1959 (Nasution,1992-xxx). Namun demikian, wacana negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Konstitusi dan sebagaimana dinyatakan oleh founding fathers kita tidak berkembang dan terinternalisasi kedalam berbagai norma hukum dan praktek hukum serta ketatanegaraan di Indonesia saat ini. Akibatnya, Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama mengalami suatu periode dimana hukum menjadi instrumen kekuasaan dalam melanggengkan berbagai kepentinagan yaitu kepentingan kelompok dan kekuasaan Kondisi "kembali kepada konstitusi dan hukum yang berlandaskan kepada HAM" inilah yang kemudian diupayakan oleh pemerintah pasca orde baru sebagaimana terwujud dalam berbagai amandemen Konstitusi (empat amandemen), Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, dan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025. Ikhtiar ini tidak terlepas dari berbagai tuntutan mahasiswa dan elemen-elemen reformasi pada tahun 1997 untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, taat hukum, dan tata pemerintahan yang baik dan bersih bebas dari korupsi ,kolusi ,dan nepotisme (KKN) .Dalam perjalanan satu dekade reformasi (1997-2007), wacana tentang arah pembangunan hukum nasional terasa tidak berkembang. Perdebatan-perdebatan yang mendalam dengan menggunakan nurani, akal sehat dan kepentingan bangsa serta kehidupan hukum jangka panjang tidak pernah kita jumpai sebagaimana pernah dilakukan oleh founding fathers kita menjelang kemerdekaan dan dalam Konstituante. Dokumen-dokumen perencanaan pembangunan hukum saat ini (Propenas, Rencana Kerja Pemerintah (RKP), RPJM, dan RPJP) tidak hanya saja ditetapkan serta dirumuskan secara eksklusif tetapi juga tidak dilandasi oleh konsepsi hukum, pembangunan hukum dan negara hukum yang jelas. Kerancuan konsepsi negara hukum dan pembangunan hukum ( rule of law) memang bukanlah gejala spesifik Indonesia. Kerancuan konsepsi ini berakibat terhadap kesulitan dalam mendefinisikan tujuan dan kriteria keberhasilan program-program rule of law sebagai bagian dari program pemerintah maupun program-program bantuan internasional atau negara donor. Secara umum, kerancuan konsep dan definisi rule of law memunculkan berbagai problematika seperti yang dikemukakan Channel dalam Carothers, Promoting Rule of Law Abroad: In Search of Knowledge, (2006) sebagai berikut: (1) ketiadaan rasa kepemilikan (lack of ownership) dari negara dan masyarakat akibat dari hasty transplants dari negara atau sistem hukum lain; (2) tidak memadainya sumber daya ( insufficient resources) sehingga mengakibatkan proyek-proyek pembangunan hukum diselenggarakan dengan sangat singkat dengan mekanisme dan proses seadanya; (3) munculnya gejala segmentasi yang eksesif ( excessive segmentation) yang mengakibatkan diagnosis dan respon yang sangat sempit (overly narrow) yang mengabaikan perlunya perbaikan hukum secara sistemik dan terintegrasi.

Sejak diundangkannya UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) tahun 2005-2025, maka pembangunan hukum di tingkat nasional maupun daerah wajib mengacu kepada RPJP ini. Tujuan pembangunan hukum dalam RPJP adalah mempromosikan sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis berdasarkan hukum dan keadilan. Program-program tersebut meliputi program: (1) pengembangan materi hukum; (2) pembangunan struktur hukum; (3) penerapan dan penegakan hukum dan HAM yang profesional, lugas dan tidak diskriminatif; (4) pembangunan prasarana hukum; dan (5) peningkatan perwujudan masyarakat yang memiliki kesadaran hukum dan budaya hukum.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka beberapa pertanyaan yang perlu dikaji serta dicarikan jawabannya dalam seminar ini :
1. Apakah kita perlu membangun sebuah konsepsi negara berdasarkan hukum (rule of law) dalam konteks Indonesia? Apabila diperlukan, bagaimana proses membangun konsepsi ini dan bagaimana mengintegrasikannya kedalam dokumen negara tentang pembangunan hukum?
2. Apakah program pembangunan hukum jangka panjang sebagaimana tertuang dalam UU No. 17/2007 telah memenuhi dan merespon kebutuhan riil bangsa Indonesia? Apabila belum, bagaimana membangun sebuah analisis kebutuhan yang responsif dan aspiratif untuk merumuskan program-program pembangunan hukum jangka panjang yang merespon kebutuhan bangsa, terutama kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
3. Apabila pembangunan hukum versi RPJP telah memadai, bagaimana memberi isi dan menjabarkan kelima program pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam UU No.17/2007 ?
4. Bagaimana peran hukum dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang kini sedang dihadapi bangsa Indonesia seperti: (a) pendidikan hukum (akademis dan profesi) yang mampu membentuk profesi hukum yang memiliki empati pada upaya memerangi penyimpangan etika profesi hukum, khususnya judicial corruption; (b) peranan hukum dalam mendukung investasi ekonomi yang berdimensi pembangunan berkelanjutan ( sustainable development); (c) peranan hukum dalam mendukung tata pemerintahan yang baik (good public governance); (d) peranan hukum dalam mendukung serta mengawal kebebasan pers yang bertanggung jawab; dan (e) pluralisme hukum dan koeksistensi antara hukum negara dengan hukum adapt.
B. Embrio dan Pembatasan perkembangan HAM
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.

Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi "...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun"? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.

C. Rujukan Dasar

Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas. Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis ( sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, "In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society."

C. Konstitusionalisme Indonesia

Melalui studi pendekatan perbandingan hukum, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki sedikit jam terbang dalam hal upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama melalui mekanisme pengujian konstitusionalitas. Padahal mekanisme ini menjadi hal yang sangat penting manakala hak menjalankan kebebasan beragama terhalangi oleh berbagai ketentuan dan tindakan Pemerintah yang sewenang-wenang.

Di beberapa negara seperti India, Amerika Serikat, dan Jerman, praktik pengujian konstitusionalitas terkait dengan kebebasan bergama merupakan hal yang sangat lumrah. Sebut di antaranya, perkara Mudghal v. India (1995) mengenai rencana adanya unifikasi ketentuan hukum terkait maraknya praktik poligami di India, atau perkara Welsh v. United States (1970) mengenai penolakan keikutsertaan seseorang dalam suatu peperangan karena bertentangan dengan ajaran agamanya.Terdapat juga dua perkara yang serupa yaitu perkara M.H. Qurahi v. The State of Bihar (1995) dikenal dengan kasus cow slaughter di India dan perkara BvR 1783/99 (2002) pada Mahkamah Konstitusi Jerman yang dikenal dengan kasus traditional slaughter. Seorang warga negara Muslim di kedua negara tersebut mengajukan pengujian konstitusionalitas terhadap UU tentang Perlindungan Hewan yang melarang adanya penyembelihan sapi yang menurut mereka dapat menghambat kebebasan menjalankan ibadah agama .Dengan semakin berkembangnya praktik pengujian konstitusionalitas, maka jaminan dan perlindungan akan hak kebebasan menjalankan ibadah akan menjadi semakin kuat. Sayangnya, mekanisme constitutional review di Indonesia pada saat ini hanya dapat dilakukan melalui pengujian undang-undang terhadap UUD saja, tidaktermasuk mekanisme gugatan konstitusional (constitutional complaint ) sebagaimana menjadi wewenang terpenting dari Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgericht). Akibatnya, berbagai kinerja pemerintah terhadap masyarakat, seluruh peraturan perundang-undangan, ataupun putusan pengadilan yang dianggap melanggar ketentuan kebebasan beragama di dalam Konstitusi, pada saat ini belum secara sempurna dapat diuji konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi.Artinya, sistem ketatanegaraan dan praktik berkonstitusi di Indonesia masih harus dikembangkan sedemikian rupa. Dengan adanya kekosongan mekanisme perlindungan konstitusi, maka dapat dipastikan bahwa akan terjadi hambatan tersendiri di kemudian hari bagi terpenuhinya hak-hak dasar warga negara dalam mencapai kebebasan beragama yang hakiki.
Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasaanya adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila ke dua yaitu "kemanusiaan yang adil dan beradab"
2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan "Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia" sebagai berikut, "Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokratis"
3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, "Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis.
4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;

Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan hak asasi manusia mengenai hak untuk hidup (right to life).
1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat "Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia" yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya", namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, "Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis";

2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, "Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa".

Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh pemohon Abilio Jose Oserio Soares.Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai "hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun", termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan "hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun" dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana halnya yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

Sejarah perjalanan dan perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama kurun waktu 62 tahun tidak pernah terlepas dari proses trial and error. Hal ini dilakukan semata-mata demi terciptanya kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem penyelenggaraan negara. Kehadirannya telah membawa 'angin segar' adanya perlindungan akan hak-hak konstitusional (constitutional rights) bagi warga negara.
Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh oleh setiap warga negara terhadap pemenuhan hak konstitusional tersebut yaitu melalui jalur pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau dikenal dengan istilah constitutional review (staatsgerichtsbarkeit). Dalam hal ini, penulis sengaja menggunakan istilah constitutional review guna menghindari kekeliruan pemaknaan yang seringkali tumpang tindih terhadap istilah judicial review. Sebagaimana lazimnya dipraktikkan pada negara-negara common law system , judicial review memiliki pengertian yang lebih luas dan tidak terbatas hanya pada pengujian konstitusionalitas saja (Erick Barendt, 1998).Peremajaan kehidupan bertatanegara pun semakin hari semakin berkembang pesat. Kini bangsa Indonesia, disadari atau tidak, telah memulai babak baru dalam hal praktik memperjuangkan hak-hak dasar ( basic rights) dalam lingkup kebebasan beragama (freedom of religion). Hak-hak dasar ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), dan Pasal 29 UUD 1945 yang sejalan pula dengan instrumen HAM Internasional, khususnya Pasal 18 UDHR dan Pasal 18 ICCPR.Selama ini, persoalan mendasar yang erat kaitannya dengan hak kebebasan beragama tidak pernah sekalipun memasuki ranah pengujian konstitusionalitas. Adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 12/PUU-V/2007 yang membuka pintu gerbang dimulainya aktivitas konstitusional ( constitutional activism) terhadap permohonan perlindungan kebebasan menjalankan praktik keagamaan sebagai fundamental rights setiap warga negara Indonesia.Putusan yang dikeluarkan pada tanggal 3 Oktober yang lalu merupakan permohonan pengujian konstitusionalitas terhadap ketentuan-ketentuan di dalam UU Perkawinan yang memberikan persyaratan khusus bagi warga negara yang ingin melakukan poligami. Dengan alasan menghambat kebebasan menjalankan ibadah yang didukung dengan dalil-dalil agama Islam dan argumentasi hukum serta jaminan Hak Asasi Manusia (HAM), Pemohon meminta kepada Mahkamah agar ketentuan dimaksud dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mengikat.Untuk membuat putusan tersebut, tentunya Mahkamah tidak dapat mengelak dari pertimbangan yang berkaitan dengan dalil-dalil agama sebagaimana diajukan oleh Pemohon. Oleh karenanya, pertimbangan hukum Mahkamah pada bagian Pendirian kali ini lebih banyak mengupas argumentasi khusus dari perspektif agama Islam (hal 91-96) dibandingkan dengan argumentasi hukum positif terkait dengan Hak Asasi Manusia, nilai sosial kemasyarakatan, dan hak-hak konstitusional (hal 96-98).Terlepas dari apapun isi putusan Mahkamah, di mana mempunyai sifat final dan binding, maka dapat kita simpulkan bahwa horizon praktik ketatanegaraan Indonesia kini mulai memasuki ranah yang amat erat hubungannya antara konsepsi konstitusi, kebebasan beragama, dan warga negara.

D. Konstitusi dan kebebasan beragama

Konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara ( supreme law of the land) merupakan fondasi dasar dari sistem ketatanegaraan suatu bangsa. Antara satu negara dengan negara lain tentunya mempunyai Konstitusi dengan ciri dan karakteristik berbeda-beda yang dapat mempengaruhi terbentuknya konsep negara. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, maka kita seringkali mendengar pembedaan antara konsep negara agama, negara sekuler, dan lain sebagainyaHasil amandemen ke-46 Konstitusi India yang memasukan kata " secular" dalam Pembukaan Konstitusinya semakin menegaskan bahwa negara India adalah negara sekuler dengan menitikberatkan pada nilai-nilai penghormatan terhadap kebebasan dan toleransi umat beragama.

Berbeda pula dengan hasil amandemen pertama Konstitusi Amerika Serikat yang memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama bagi setiap warga negara, namun tidak memberikan ruang kepada badan legislatifnya untuk membentuk UU yang mengatur tentang praktik keagamaan. Hal tersebut dipertegas dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Everson v. Board of Education (1947) dan Engel v. Vitale (1962) yang pada intinya menyatakan bahwa ketentuan konstitusi telah menciptakan dinding pemisah ( wall separation) antara negara dan agama.

Dalam penelitiannya mengenai hubungan dan peran konstitusi terhadap kebebasan menjalankan agama, Tad Stahnke dan Robert C. Blitt (2005) membagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia menjadi empat kategori. Keempat kategori negara tersebut yaitu: (1) negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam, misalnya Afganistan, Iran, dan Saudi Arabia; (2) negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara, misalnya Irak, Malaysia, dan Mesir; (3) negara yang mendeklarasikannya dirinya sebagai negara sekuler, misalnya Senegal, Tajikistan, dan Tuki; serta (4) mereka yang tidak memiliki deklarasi apapun di dalam Konstitusinya, seperti Indonesia, Sudan, dan Siria.Jika Indonesia dimasukan dalam kategori negara yang tidak mendeklarasikan bentuk apapun dalam hal hubungan antara negara dengan agama di dalam Konstitusinya, maka menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah konsep yang sebenarnya diusung oleh para founding people negara kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, Mahfud M.D mencoba menjelaskannya melalui konsepsi prismatik dengan meminjam istilah dari Fred W. Riggs.Indonesia merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Menurutnya, negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing (Mahfud M.D., 2007).Berangkat dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai kewajiban konstitusional (constitutional obligation) untuk melindungi kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Mengutip asosiasi yang digunakan oleh Jimly Asshiddiqie, ketika Konstitusi berada di salah satu tangan kita, maka kitab suci agama selalu berada di satu tangan lainya. Artinya, kedua hal tersebut haruslah berjalan secara harmonis dan tidak dapat dipertentangkan satu sama lainnya.


PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM
Sebagai salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penyelesaian berbagai permasalahan hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia harus diakui tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Misi Presiden terpilih yang kemudian tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009 dan rencana tahunannya saat ini tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2005 dalam pelaksanaannya masih menghadapi banyak kendala dan hambatan yang tidak mudah diselesaikan dalam jangka waktu singkat.
Permasalahan yang Dihadapi
Dalam periode Oktober 2004 sampai dengan Juli 2005 permasalahan yang masih ditemui adalah kurang optimalnya komitmen para pemegang fungsi pembentukan perundang-undangan dalam mematuhi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan lemahnya koordinasi antarinstansi/lembaga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan karena masing-masing mempunyai kepentingan (ego sektoral). Kondisi tersebut menyebabkan timbulnya tumpang tindih pengaturan antara peraturan yang setingkat dan pertentangan antara aturan yang satu dan aturan yang lain. Akibatnya, ketidakpastian dan penegakan peraturan perundang-undangan lebih mengemuka dan pada akhirnya rakyatlah yang dirugikan karena sangat bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman.
Kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain juga masih belum memperlihatkan kinerja yang menggembirakan. Upaya mewujudkan kemandirian peradilan melalui percepatan pengalihan kewenangan administrasi keuangan, kepegawaian dan organisasi dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada Mahkamah Agung masih terus dalam proses pembenahan. Proses restrukturisasi organisasi lembaga peradilan pascapengalihan kewenangan juga masih dalam proses penyusunan sehingga secara tidak langsung menyebabkan kinerja fungsi peradilan masih belum tercapai secara optimal. Di samping itu, upaya peningkatan kualitas profesi aparat penegak hukum dalam rangka mendorong terwujudnya sistem hukum nasional, walaupun telah dilakukan secara berkesinambungan, masih menghadapi kendala. Kendala itu, antara lain, adalah kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum terhadap perkembangan kejahatan yang sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara (transnational crime) terutama mengenai tindakan pencucian uang termasuk uang dari hasil korupsi. Di samping itu, juga masih kurangnya tenaga perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter) yang berkualitas sehingga sering menimbulkan multiinterpretasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, baik di pusat maupun di daerah. Kondisi tersebut sangat tidak kondusif dan membingungkan masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan upaya untuk meningkatkan kepastian hukum di kalangan dunia usaha, baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri yang saat ini sudah banyak yang meninggalkan Indonesia.
Demikian pula, upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman terhadap pelindungan dan penghormatan HAM masih belum memberikan dampak yang menggembirakan dalam masyarakat. Merupakan suatu kenyataan bahwa kegiatan penyuluhan hukum dan pemahaman terhadap nilai-nilai HAM belum memengaruhi perilaku setiap anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu penyebabnya adalah pelaksanaan penyuluhan hukum dan HAM yang belum secara optimal menempatkan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya mewujudkan masyarakat yang berorientasi pada hukum sehingga peran serta masyarakat sebagai agen peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia hanya sebagai objek semata. Penyusunan metode penyuluhan yang sifatnya dua arah yang telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu masih belum memperlihatkan hasil yang nyata di dalam masyarakat. Hal tersebut dapat terlihat dari masih seringnya ditemui tindakan main hakim sendiri dari masyarakat terhadap pelaku yang diduga telah melakukan kejahatan.


Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Pada bulan Februari 2005, Pemerintah dan DPR telah menyepakati untuk menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2005 sebanyak lima puluh lima Rancangan Undang Undang (RUU) sebagai prioritas yang akan diselesaikan dari sebanyak 284 buah sampai dengan tahun 2009.
Sampai dengan bulan Juli 2005 baru dua undang-undang yang telah dilahirkan, yaitu RUU tentang Perubahan UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2005, dan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjadi undang-undang. Pencapaian itu belum sesuai dengan harapan yang ditetapkan dalam rapat paripurna tanggal 1 Februari 2005 tentang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005–2009 karena kedua undang-undang tersebut tidak merupakan prioritas yang akan diselesaikan pada tahun 2005. Untuk itu, perencanaan dan pembentukan hukum pada masa mendatang yang lebih realistis dengan mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan perlu dilakukan. Demikian pula, peningkatan kualitas tenaga perancang perundang-undangan perlu mendapat perhatian yang lebih memadai.
Upaya peningkatan kinerja lembaga penegakan hukum termasuk lembaga peradilan, walaupun masih terkendala oleh banyak hal, tetap dilakukan pembenahannya.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah dalam kurun waktu sepuluh bulan terakhir adalah mempercepat pembentukan lembaga-lembaga hukum yang diharapkan dapat ikut meningkatkan kinerja lembaga-lembaga penegak hukum yang telah ada. Sebagai tindak lanjut dari perintah UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, telah dibentuk Komisi Yudisial yang salah satu tugasnya adalah menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Dengan Keputusan Presiden Nomor 1/P/2005 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Yudisial periode 2005–2010 telah ditetapkan tujuh orang anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, juga telah dibentuk Komisi Kejaksaan berdasarkan perintah Pasal 38 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan anggota Komisi Kejaksaan ditetapkan dengan Keputusan Presiden No 116/M tahun 2005 tertanggal 7 Juli. Komisi tersebut mempunyai tugas yang cukup berat, yaitu mengawasi kinerja aparat kejaksaan di seluruh Indonesia yang diharapkan nantinya kinerja lembaga kejaksaan dalam menyelenggarakan fungsi penegakan hukum dapat memenuhi harapan masyarakat. D i lingkungan Kepolisian, berdasarkan perintah UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga telah dilakukan penyeleksian anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan saat ini masih menunggu proses penetapan lebih lanjut.
Untuk mendorong kinerja penegakan hukum, pada tanggal 2 Mei 2005 telah diterbitkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor). Keanggotaan tim tersebut meliputi unsur Kejaksaan RI, Kepolisian RI, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tujuan dibentuknya Tim Tastipikor itu adalah untuk meningkatkan koordinasi dalam rangka mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi dengan masa kerja selama dua tahun. Untuk meningkatkan kualitas para penegak hukum, upaya pembekalan kemampuan teknis terus menerus dilakukan bagi aparat penegak hukum, termasuk para hakim, dengan tujuan agar para penegak hukum dan para hakim senantiasa mampu mengikuti perubahan keadaan, mengingat perkembangan model tindak pidana berjalan seiring dengan perkembangan keadaan itu sendiri. Persoalan penting yang lain adalah kurangnya integritas para penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Berkaitan dengan itu, modifikasi model perekrutan para penegak hukum dengan mempertimbangkan perlunya mengakomodasi pengujian terhadap integritas calon penegak hukum dan calon hakim diharapkan mampu memberikan jawaban atas kurangnya integritas para penegak hukum pada saat ini.
Untuk mewujudkan masyarakat yang berorientasi pada hukum, dilakukan kegiatan penyuluhan hukum dan HAM dengan metode komunikasi interpersonal, media cetak, dan media elektronik. Penyuluhan hukum dan HAM melalui komunikasi interpersonal dilakukan, antara lain, melalui kegiatan tatap muka dan bersifat dialogis. Sementara itu, kegiatan yang dilakukan melalui media cetak, antara lain, melalui penyebaran pamflet penyuluhan hukum dan HAM, dan pemasangan berbagai spanduk pada tempat-tempat yang strategis. Selanjutnya melalui media elektronik dilakukan kegiatan penyuluhan hukum dan HAM, antara lain, dalam bentuk penyiaran sandiwara radio dan televisi. Hal itu, antara lain, terlihat dalam kegiatan lembaga Ombudsman Nasional secara berkala di televisi dan kegiatan kepolisian melalui kegiatan "Halo Polisi".

Tindak Lanjut yang Diperlukan
Berbagai upaya dan langkah telah dilakukan oleh Pemerintah untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum, di antaranya adalah (1) pengubahan serta penetapan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi, keperluan, dan perkembangan dalam masyarakat, tidak diskriminasi, serta mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender; (2) pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain; (3) peningkatan kemampuan profesional aparat hukum; (4) serta peningkatan kesadaran hukum dan HAM. Namun, hasil-hasil pembenahan sistem dan politik hukum yang telah dicapai masih belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Untuk mendorong kinerja pembangunan, pembenahan sistem dan politik hukum diperlukan tindakan sebagai berikut.
Dalam rangka Perencanaan Hukum dan Pembentukan Hukum, hal yang penting untuk dilakukan adalah membangun komitmen di antara lembaga pembentuk hukum untuk mematuhi kesepakatan di dalam Prolegnas. Peran Prolegnas cukup penting dalam rangka menciptakan koordinasi yang baik antara departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rangka pembentukan undang-undang. Selain itu, perlu dirumuskan dan disusun mekanisme yang lebih kuat dalam rangka pembentukan undang-undang antara DPR dan Pemerintah sehingga dapat disusun penentuan kriteria yang jelas dalam menetapkan prioritas RUU yang akan dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah serta menjadi jaminan bahwa RUU yang disepakati antara DPR dan Pemerintah tersebut akan benar-benar dijalankan. Perlu dilakukan percepatan pembahasan RUU yang saat ini ada di DPR sehingga kesepakatan antara DPR dan Pemerintah di bidang legislasi pada bulan Februari 2005 yang tertuang dalam dokumen Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2005–2009 dapat dilaksanakan dengan komitmen yang kuat sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan serta aspirasi masyarakat dan tidak terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan. Untuk menunjang keberhasilan dalam pencapaian program, perlu ditingkatkan kerja sama, koordinasi, serta komitmen para pihak terkait dalam rangka mendukung terlaksananya undang-undang tersebut. Di samping itu, upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan terus-menerus dilakukan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 dengan tujuan untuk menciptakan keserasian, harmoni, dan tidak tumpang tindih antara peraturan yang satu dan peraturan yang lain yang juga harus diikuti dengan peningkatan kualitas tenaga perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter). Tersedianya peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat merupakan landasan dan pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Diharapkan dengan adanya kebijakan satu pintu dari amanat undang-undang tersebut, produk perundang-undangan yang akan dihasilkan tersebut benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat, menjamin kepastian hukum, mampu memberi dukungan terhadap proses pemulihan ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, memberi pelindungan dan penghormatan terhadap HAM, tidak diskriminatif, dan memberikan pelindungan terhadap hak perempuan dan anak.
Upaya pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain dalam rangka penegakan supremasi hukum tidak akan tercapai tanpa didukung oleh lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian langkah untuk meningkatkan peran lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain. Fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dan perilaku hakim terus menerus ditingkatkan melalui pemberdayaan lembaga pengawasan yang telah ada terutama di lingkungan internal dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dan kinerjanya ataupun lembaga yang sedang dalam proses pembentukan, antara lain dengan pembentukan Komisi Yudisial dan Dewan Kehormatan Hakim. Demikian pula, di dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, berbagai upaya telah dilakukan antara lain penguatan terhadap peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Sementara itu, koordinasi antarlembaga yang tugas dan fungsinya melakukan pemberantasan korupsi terus ditingkatkan sehingga proses hukum penanganan perkara korupsi mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan penuntutan dapat dipercepat dan diselesaikan sampai kepada tindakan secara hukum.
Upaya lain adalah dengan meningkatkan kualitas putusan pengadilan, putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan tidak diskriminatif dari pengadilan tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi serta putusan Mahkamah Konstitusi, dengan didukung oleh pembangunan sistem informasi agar dapat secara mudah diakses oleh masyarakat sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung kemampuan dan keterampilan teknis yudisial aparat penegak hukum, pendidikan dan pelatihan dilaksanakan dengan menekankan pada kemampuan, akhlak dan budi pekerti sebagai standar penilaian untuk menjadi aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan tidak menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum. Demikian pula, peningkatan dalam pendidikan dan pelatihan bagi aparatur hukum, terutama para penegak hukum, dalam mengantisipasi kejahatan canggih yang menggunakan teknologi tinggi terutama yang berkaitan dengan penghapusan bukti dalam perkara korupsi terus dilakukan kerja sama dan koordinasi dengan negara-negara lain. Di samping itu, terus menerus diupayakan untuk membuat perjanjian kerja sama dengan berbagai negara lain yang diduga sebagai tempat persembunyian atau pelarian bagi para koruptor sehingga dapat dilakukan pengembalian kerugian negara akibat korupsi. Sejalan dengan tuntutan demokrasi yang transparan dan terbuka, upaya peningkatan kesadaran hukum dan HAM dilakukan melalui penyebaran informasi hukum agar memperoleh informasi hukum karena setiap anggota masyarakat mempunyai hak dalam memperoleh informasi sebagai upaya menciptakan kepastian hukum. Pendekatan dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dilakukan dengan pendekatan dialogis atau dua arah serta memakai metode partisipatif serta disesuaikan dengan nilai-nilai dan perilaku yang ada dalam masyarakat sehingga memungkinkan penyerapan materi atau substansi hukum tepat sasaran dan mempunyai dampak yang lebih efektif dan efisien.
BAB III
PENUTUP


Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya "Pengantar Hukum Tata Negara", tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai "Politik Hukum" dalam buku terbarunya berjudul "Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi". Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution . Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun.
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999, membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan kita sebagaimana nampak pada perubahan yang hampir menyeluruh atas Undang Uundang Dasar 1945.
Perubahan undang-undang dasar ini, sebenarnya terjadi demikian cepat tanpa dimulai oleh sebuah perencanaan panjang. Hal ini terjadi karena didorong oleh tuntutan perubahan-perubahan yang sangat kuat pada awal reformasi antara lain tuntutan atas kehidupan negara dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, penegakan hukum yang lebih baik, penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan berbagai tuntutan perubahan lainnya.
Terhadap berbagai tuntutan tersebut para anggota MPR meresponsnya dengan memulai perubahan terhadap sesuatu yang mendasar yaitu perubahan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa salah satu sumber permasalahan yang menimbulkan problem politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini adalah karena kelemahan Undang Undang Dasar 1945 antara lain:
- UUD 1945 menyerahkan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden;
- Tidak adanya prinsip check and balances dalam UUD 1945 antara lain menyerahkan kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat;
- UUD 1945, terlalu fleksibel menyerahkan penyelenggaraan negara pada semangat para penyelenggara negara yang dalam pelaksanaannya banyak disalahgunakan;
- Pengaturan mengenai hak asasi manusia yang minim, serta
- Kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.
Oleh karena itu, perubahan UUD 1945 yang pertama pada sidang umum tahun 1999, terjadi dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya sekitar satu minggu perdebatan pada tingkat Panitia Ad Hoc, menghasilkan perubahan penting terhadap 9 pasal yang terkait dengan penyeimbangan kedudukan Presiden dengan DPR.
Walaupun demikian, kalau kita kembali melihat sejak awal pemerintahan Presiden Habibie ide perubahan UUD 1945 telah dimulai dan bahkan pernah dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Prof.DR. Bagir Manan untuk mengkaji perubahan UUD 1945 dan telah melakukan serial diskusi yang cukup panjang dan menghasilkan berbagai pemikiran terhadap perubahan undang-undang dasar ini dalam sebuah buku. Karena itu, ketika perdebatan pada MPR mengenai perubahan undang-undang dasar ini sebagian besar fraksi telah menyiapkan rancangan perubahan yang menyeluruh atas undang-undang dasar 1945 itu. Karena waktu yang tidak memungkinkan, perubahan pertama itu hanya terjadi terhadap beberapa pasal yang terkait dengan pembatasan kekuasaan Presiden dan penguatan DPR, dan perubahan lainnya dicadangkan pada sidang tahunan berikutnya.
Karena begitu luasnya perdebatan awal ketika memulai perubahan ini, untuk menghindari disorientasi dalam perubahan-perubahan yang akan dilakukan, seluruh fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada saat itu menyepakati lima prinsip yaitu:
- tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
- tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- mempertegas sistem pemerintahan presidensil;
- penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal;
- perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang telah dilakukan selama 4 kali – Perubahan Pertama tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Perubahan Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Keempat tahun 2002, telah membawa implikasi politik yang sangat luas dalam sistem ketatanegaraan Indoneisa.
Kalau kita membaca dengan cermat perubahan tersebut, akan nampak bahwa empat kali perubahan merupakan satu rangkaian perubahan yang dilakukan secara sistematis dalam rangka menjawab tantangan baru kehidupan politik Indonesia yang lebih demokratis sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakat. Tuntutan perubahan sistem politik dan ketatanegaraan dalam bentuk perubahan Undang Undang Dasar 1945, adalah pesan yang sangat jelas disampaikan oleh gerakan reformasi yang dimulai sejak tahun 1998.
Keempat perubahan ini, mencakup aspek yang sangat luas dan mendalam baik dari jumlah pasal yang diubah dan ditambah maupun dari substansi perubahan yang terjadi. UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 47 ayat ditambah 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. Setelah 4 kali perubahan, UUD 1945 menjadi 20 bab, 73 pasal, 171 ayat ditambah 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Substansi perubahan menyentuh hal-hal yang sangat mendasar dalam sistem politik dan ketatanegaraan yang berimplikasi pada perubahan berbagai peraturan perundangan dan kehidupan politik Indonesia di masa depan. Dalam kerangka inilah berbagai perundang-undangan baru bidang politik disusun, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta UU Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Reduksi Kewenangan MPR (Memperkuat Demokratisasi)
Terdapat dua perubahan mendasar pada MPR, setelah perubahan yaitu perubahan susunan keanggotaan serta perubahan kewenangan MPR, yang berimplikasi pada perubahan dalam tata hubungannya dengan lembaga-lembaga negara yang lainnya.
a. Keanggotaan MPR
Sebelum perubahan, keanggotaan MPR terdiri dari Anggota DPR ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Merujuk pada masa Orde Baru anggota MPR berjumlah 1000 orang yang terdiri dari 500 anggota DPR (400 orang yang dipilih melalui pemilu dan 100 dari ABRI yang diangkat), 5 orang utusan daerah dari setiap propinsi (yaitu 160 untuk 27 Provinsi), dan sisanya adalah utusan golongan.yang berjumlah 340 orang. Dari susunan keanggotaan tersebut nampak sekali bahwa terdapat 440 orang anggota MPR yang diangkat Presiden, 160 yang dipilih oleh DPRD dari 27 provinsi (pada periode ini Utusan Daerah bergabung dalam satu fraksi tersendiri sedangkan utusan Golongan melebur dalam fraksi Partai Politik yang ada) dan 400 orang yang dipilih dalam pemilu. Konfigurasi keanggotaan ini menunjukkan dominasi Presiden yang sangat kuat terhadap MPR
Pada masa reformasi sekarang ini, sejak kejatuhan Soeharto, keanggotaan MPR, diubah lagi yaitu hanya terdiri dari 700 orang dimana jumlah yang diangkat oleh Presiden hanya 69 orang anggota Utusan Golongan yang dipilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), (dalam pengangkatan ini Presiden hanya mengesahkan secara administratif sebagai Kepala Negara, yaitu sama dengan pengangkatan anggota Utusan Daerah yang dipilih oleh DPRD Provinsi dan Anggota DPR yang dipilih dalam Pemilu). Perubahan ini membawa implikasi pada betapa minimnya pengaruh Presiden terhadap MPR.
Setelah Perubahan UUD, anggota MPR hanya terdiri dari anggota DPR (sekarang berjumlah 550 orang) dan anggota DPD yang merupakan wakil dari daerah-daerah (sekarang 4 orang setiap provinsi) yang dipilih secara langsung dalam pemilu oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Tidak ada lagi anggota MPR yang diangkat.
Perubahan ini memperbaiki susunan anggota MPR, sehingga lebih demokratis dan lebih menunjukan representasi rakyat yang lebih jelas dalam lembaga perwakilan.
b. Kewenangan MPR
Kewenangan dan status MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan tercermin dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi : "Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat". Lebih lanjut kewenangan MPR adalah menetapkan Undang Undang Dasar dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara (diatur dalam pasal 3), mengangkat Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 ayat 2), kemudian diperkuat oleh Penjelasan UUD 1945.
Ketentuan ini menunjukkan dengan jelas bahwa posisi MPR sangat dominan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ketika MPR terbentuk seakan-akan kedaulatan rakyat itu diambil alih sepenuhnya oleh MPR dan MPR memegang supreme power dalam ketatanegaraan Indonesia. Dalam struktur yang demikian MPR ditempatkan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Hal ini berimplikasi pada hubungan yang tidak seimbang antara lembaga-lembaga negara (tidak ada check and balances). Siapa yang dapat mempengaruhi dan mendominasi MPR maka dialah yang paling berkuasa. Jika Presiden dapat menguasai atau mempengaruhi MPR maka pasti dia sangat berkuasa (seperti yang terjadi pada masa Orde Baru) dan siapa yang tidak mampu mendominasi dan menguasai MPR, maka dia akan menjadi sangat lemah (seperti kasus Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid).
Dalam kerangka pemikiran ini pula seluruh lembaga-lembaga Negara yang lain harus melapor kepada MPR, karena MPR adalah sumber kekuasaan negara, yang mendistribusikan kekuasaannya pada lembaga-lembaga negara itu.
Perubahan UUD 1945, telah merubah filosofi dasar sumber kewenangan MPR, sebagaimana tercermin dalam perubahan pasal 1 ayat 2, yaitu : "Kedaulatan di tangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar". Implikasi perubahan ini adalah direduksinya kewenangan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya, menjadi kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD ini, yaitu oleh lembaga-lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD. Presiden menjalankan kedaulatan rakyat, untuk menjalankan pemerintahan negara, karena dia dipilih langsung juga oleh rakyat. DPR dan DPD menjalankan kedaulatan rakyat dalam membentuk undang-undang dan mengawasi Presiden. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjalankan kedaulatan rakyat dalam bidang yudikatif dan peradilan. Bahkan rakyat juga melaksanakan kedaulatannya secara langsung dalam bentuk memilih Presiden dan Wakil Presidennya secara langsung. Demikian pula terhadap lembaga-lembaga negara lainnya yang diatur dalam UUD ini.
Kewenangan MPR, dipertegas yaitu hanya: mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (pasal 3 UUD) memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya (pasal 8 ayat (2)) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan berhalangan tetap dalam masa jabatannya. Dengan demikian MPR kehilangan kewenangannya untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden secara rutin, menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara serta memberhentikan Presiden karena pelanggaran garis-garis besar haluan negara.

c. Hubungan MPR dengan Lembaga Negara Lainnya
Dengan perubahan ini tidak lagi dikenal lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara dalam hubungan antar lembaga negara. Semua lembaga negara tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah, akan tetapi kedudukannya dilihat pada fungsi dan kewenangannya yang diberikan oleh UUD. Karena itu, lembaga-lembaga negara lainnya tidak lagi melapor kepada MPR, karena MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara untuk dilaksanakan oleh seluruh lembaga negara yang lainnya.
Kerangka hubungan antar lembaga negara yang dibangun dalam perubahan UUD ini adalah prinsip checks and balances. Artinya hubungan yang seimbang antara lembaga Negara yang masing-masing terkontrol oleh yang lainnya berdasarkan ketentuan UUD.
Secara kelembagaan posisi MPR sebenarnya adalah "forum" sidang gabungan antara anggota DPR dengan anggota DPD. MPR hanya bersidang pada saat-saat dibutuhkan, yaitu ketika melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, memberhentikan Presiden, mengubah dan menetapkan UUD, serta memilih Wakil Presiden dalam hal kekosongan jabatan Wakil Presiden. Jadi, tidak ada lagi istilah Sidang Umum serta Sidang Tahunan MPR, yang ada adalah Sidang MPR. Walaupun demikian, karena MPR memiliki kewenangan-kewenangan yang mandiri, maka kedudukannya menjadi sebuah lembaga negara tersendiri.
Setelah perubahan UUD hubungan antara MPR dengan lembaga negara lainnya hanya terlihat jelas dalam hubungannya dengan Presiden dan Wakil Presiden, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD serta memilih Wakil Presiden dalam hal kekosongan jabatan Wakil Presiden.

Reposisi Dewan Perwakilan Rakyat
Reposisi DPR, dilakukan dengan maksud agar menempatkan DPR dalam posisinya sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan di bidang legislatif. Karena itu DPR, diberikan kekuasaan untuk membentuk undang-undang (pasal 20 ayat (1)).
Sebelum perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang ini dimiliki oleh Presiden (pasal 5 ayat (1) sebelum perubahan). Sedangkan DPR diposisikan sebagai lembaga negara yang memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang itu. Kedudukan ini berakibat pada hubungan yang tidak seimbang antara Presiden dengan DPR, dimana Presiden di samping memegang kekuasaan pemerintahan negara juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini mengakibatkan pada tidak seimbangnya kekuasaan Presiden dengan DPR. Padahal DPR sebenarnya adalah representasi rakyat yang terpilih melalui pemilu. Akibatnya seperti pengalaman selama masa pemerintahan Orde Baru, Presiden dapat mengabaikan rancangan undang-undang yang sudah disetujui oleh DPR bersama pemerintah di DPR, dan rancangan undang-undang itu tidak disahkan.
Perubahan UUD juga mempertegas fungsi pengawasan dari DPR, yaitu berupa hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (pasal 20A ayat (2)). Setiap anggota DPR juga diberikan jaminan hak yang kuat dalam konstitusi yaitu hak mengajukan pertanyaan, usul dan pendapat serta hak imunitas (pasal 20A ayat (3)). Penegasan ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih kuat bagi kewenangan DPR yang diatur dalam konstitusi. Ketiga hak ini, sebelumnya hanya diatur dalam undang-undang.
Perubahan penting lain mengenai DPR, adalah diperjelasnya mekanisme rekruitmen seluruh anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat seperti pada masa yang lalu yaitu dari ABRI/TNI-POLRI. Perubahan ini memberikan jaminan dan legitimasi yang kuat kepada DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan bagaimana sistem pemilu untuk memilih anggota DPR, tidak diatur dalam UUD, tetapi diatur dalam undang-undang. Hal ini memberikan keleluasaan kepada DPR dan Presiden untuk memilih sistem pemilu yang tepat sesuai keadaan dan kondisi masyarakat. Persoalan yang paling mendasar bagi sebuah pemilu yang baik adalah sejauh mana output pemilu itu menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar mewakili rakyat, memahami kepentingan dan hati nurani rakyat.

Dewan Perwakilan Daerah, Sebuah Institusi Negara yang Baru
a. Kewenangan dan Posisi DPD Dalam Struktur Ketatanegaraan
DPD merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan yang sama dengan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Perbedaannya pada penekanan posisi anggota DPD sebagai wakil dan representasi dari daerah (provinsi). Setiap anggota DPD selalu berpikir tentang kepentingan daerahnya tanpa terhambat oleh garis dan kepentingan partai politik, karena anggota DPD adalah dari perseorangan bukan wakil partai politik. Pembentukan DPD sebagai salah satu institusi negara yang baru, adalah dalam rangka memberikan kesempatan kepada orang-orang daerah untuk ikut mengambil kebijakan dalam tingkat nasional, khususnya yang terkait dengan kepentingan daerah. Pembentukan ini diharapkan akan lebih memperkuat integrasi nasional serta semakin menguatnya perasaan kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari daerah-daerah.
Walaupun kedudukan DPD adalah sejajar dengan kedudukan DPR dalam struktur ketatanegaraan kita, tetapi kewenangannya, baik kewenangan bidang legislasi maupun bidang pengawasan adalah sangat terbatas. Kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD adalah hanya dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu DPD, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Apakah DPD memiliki voting right atas RUU yang ikut dibahasnya itu?. Tidak ditegaskan dalam UUD ini. Akan tetapi jika memperhatikan ketentuan pasal 20 UUD, maka voting right yang penuh hanya dimiliki oleh DPR.
Dalam bidang pengawasan, DPD melakukan pengawasan atas pelaksanaan berbagai undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan pertimbangan oleh DPD. Namun kewenangan pengawasan ini menjadi sangat terbatas, karena hasil pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada DPR untuk bahan pertimbangan dan ditindaklanjuti.
Akan tetapi pada sisi lain anggota DPD ini memiliki, kedudukan dan kewenangan yang sama dengan anggota DPR, ketika bersidang dalam kedudukannya sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian Presiden maupun pemilihan Wakil Presiden.
b. Kenggotaan DPD
UUD 1945 (setelah perubahan), hanya menentukan bahwa jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh anggotanya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (pasal 22C ayat (2)).
Dengan menetapkan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD, menunjukkan kesamaan status dari provinsi-provinsi itu sebagai bagian integral dari negara Indonesia. Tidak membedakan provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya maupun yang besar atau kecil wilayahnya. Penentuan jumlah anggota DPD yang tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR, mengandung makna bahwa DPD ini —walaupun kedudukan sama dengan DPR dalam struktur ketatanegaraan— merupakan lembaga perwakilan yang bersifat komplementer yang mengakomodasi perwakilan daerah-daerah dalam tingkat nasional. Anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, telah mengatur dengan jelas bahwa anggota DPD, berjumlah 4 orang dari setiap provinsi. Dengan jumlah 32 provinsi pada saat ini maka jumlah anggota DPD seluruhnya hanya 128 orang sehingga tidak mencapai sepertiga anggota DPD.
Penguatan Sistem Presidensil dan Reduksi Kewenangan Presiden
Perubahan UUD ini juga, menunjukkan dua hal yang berlawanan dalam mengatur lembaga Presiden. Pertama, memperkuat posisi Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Kedua, mereduksi beberapa kewenangan Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
a. Penguatan Sistem Presidensil
Penguatan sistem presidensil terlihat pada mekanisme pemilihan Presiden dan proses pemberhentian Presiden. Jika pemilihan dan pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden sebelum perubahan UUD dilakukan oleh MPR, maka setelah perubahan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Karena dipilih langsung oleh rakyat, Presiden mendapat legitimasi langsung dari rakyat dan kedudukannya menjadi lebih kuat di hadapan lembaga negara yang lainnya, walaupun di hadapan MPR. Konsekwensinya, adalah adanya jaminan bahwa Presiden dan Wakil Presiden akan menduduki masa jabatannya dalam waktu tertentu (5 tahun) dan tidak mudah diberhentikan hanya karena dianggap melakukan kebijakan politik yang salah.
b. Mekanisme Pemberhentian Presiden Dipersulit
Berbeda dengan sistem presidensil yang dianut sebelum perubahan, menempatkan Presiden di bawah MPR. Karena MPR yang mengangkat Presiden, MPR juga yang dapat memberhentikan Presiden walaupun dengan alasan-alasan politis karena Presiden membuat kebijakan yang melanggar haluan Negara. Jadi sistem ini sebenarnya hampir sama dengan sistem Parlementer yang menganut supremasi parlemen atas eksekutif. Mekanisme pemberhentian Presiden dalam sistem sebelumnya dilakukan dengan usulan Sidang Istimewa dari DPR, setalah DPR menyampaikan Memorandum Pertama dan Kedua kepada Presiden. Atas dasar usulan DPR itu MPR melaksanakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Jika Presiden tidak datang memberikan pertanggungjawaban atau pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR, Presiden bisa diberhentikan oleh MPR. Dalam proses ini tidak ada pembuktian yuridis oleh institusi peradilan (yudikatif) untuk memberikan penilaian secara hukum atas kesalahan Presiden itu.
Dalam sistem baru pasca perubahan UUD, Presiden tidak dapat diberhentikan hanya karena alasan-alasan politis. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam hal Presiden atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum yang berupa, pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden (pasal 7A). Demikian juga mekanisme pemberhentian Presiden harus menempuh mekanisme yang sulit dan panjang, yaitu melalui pengkajian dan penyelidikan yang dilakukan oleh DPR yang menghasilkan pendapat berupa keputusan DPR yang mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR. Sebelum proses pengajuan ke MPR, DPR harus terlebih dahulu meminta putusan kepada Mahkamah Konstitusi apakah secara yuridis pendapat DPR ini dibenarkan atau tidak. Jika secara yuridis usulan DPR tidak berdasar, maka usulan pemberhentian itu tidak dapat dilanjutkan. Sebaliknya kalau secara yuridis benar, maka DPR melanjutkan usulan itu kepada MPR untuk memutuskannya. Atas pertimbangannya sendiri MPR dapat memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden berdasar jumlah dukungan suara anggota MPR. Logikanya, jika usulan pemberhentian tersebut telah mendapat dukungan kuat dari anggota DPR, maka dapat dipastikan akan mendapat dukungan kuat dari MPR, karena lebih dari duapertiga anggota MPR adalah anggota DPR.
c. Reduksi dan Pembatasan Kewenangan Presiden
Untuk menjaga prinsip check and balances antar lembaga negara, serta membatasi kewenangan Presiden yang telah diperkuat kedudukannya, kewenangan Presiden dikurangi dan dibatasi oleh UUD agar tidak disalahgunakan. Reduksi dan pembatasan kewenangan ini nampak pada, penghapusan kekuasan Presiden membentuk undang-undang (pasal 5), Pembatasan kekuasaan Presiden untuk mengangkat duta dan menerima duta negara sahabat dengan mengharuskan adanya pertimbangan DPR (pasal 13), membatasi kewenangan Presiden menggunakan haknya untuk memberikan Grasi dan Rehabilitasi yang mengharuskan adanya pertimbangan Mahkamah Agung (pasal 14 ayat (1)), membatasi kewenangan Presiden dalam menggunakan haknya untuk memberikan Amnesti dan Abolisi yang mengharuskan adanya pertimbangan DPR serta mengharuskan Presiden untuk meminta persetujuan DPR dalam menyatakan perang atau melakukan perjanjian internasional (pasal 11). Demikian pula dalam hal pembentukan dan pembubaran departemen pemerintah harus dengan persetujuan DPR (pasal 17 ayat (4)).

Memperkuat Kedudukan Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif)
Perubahan UUD ini mengintrodusir lembaga negara yang baru di bidang yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya berada di samping Mahkamah Agung.
a. Prinsip Konstitusionalisme
Kekuasaan kehakiman sebagai pilar negara hukum Indonesia mendapat jaminan yang lebih kuat dalam perubahan UUD ini. Hal ini nampak pada diberikannya kewenangan untuk melakukan hak uji (materil dan atau formil) atas undang-undang yang merupakan produk bersama DPR dengan Presiden. Undang-undang yang telah dikeluarkan oleh DPR dan Presiden dapat dinyatakan tidak berlaku baik sebahagian maupun keseluruhannya oleh lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi. Hak ini sebelum perubahan UUD, tidak diserahkan kepada kekuasaan yudikatif, yang akibatnya segala produk undang-undang tidak mungkin dilakukan pengujian oleh lembaga peradilan, sehingga tidak mungkin dapat dibatalkan kecuali dicabut sendiri oleh DPR bersama Presiden. Dengan perubahan ini mengantarkan negara ini kepada negara yang menganut prinsip konstitusinalisme. Artinya segala tindakan dan produk lembaga-lembaga dan institusi negara harus dapat diuji apakah sesuai atau tidak sesuai dengan konstitusi berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
b. Prinsip Akuntabilitas pada Peradilan
Dalam rangka menegakkan prinsip akuntabilitas lembaga peradilan, dalam perubahan UUD ini mengintrodusir lembaga negara yang baru yaitu Komisi Yudisial yang merupakan bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial adalah sebuah komisi yang dibentuk dengan undang-undang yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menegakkan harkat dan kehormatan hakim serta melakukan rekruitmen awal calon hakim agung yang akan diajukan kepada DPR untuk dipilih. Walaupun komisi ini merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, akan tetapi merupakan sebuah lembaga pengawasan eksternal terhadap para hakim pengadilan. Komisi ini yang akan menilai kinerja para hakim, dapat mengajukan usulan promosi, demosi atau sanksi kepada para hakim. Keanggotan komisi ini akan dipilih oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Pembentukan lembaga ini dirasakan pentingnya karena selama ini hakim tidak terjangkau oleh pengawasan yang bersifat eksternal.
Sentralisasi dan Unitarisme Menjadi Desentralisasi dan Pluralisme
Walaupun semboyan Negara Republik Indonesia adalah "Bhinneka Tunggal Ika", akan tetapi praktek selama ini, terutama pada masa Orde Baru tidak menunjukkan arti semboyan itu. Hal ini nampak pada kebijakan pemerintah yang selalu menunjukan kebijakan yang unitarian yaitu penyeragaman untuk seluruh wilayah Indonesia dan kebijakan yang sangat sentralistis. Akibatnya, adalah terhapusnya masyarakat hukum adat berikut hak-hak adatnya di seluruh Indonesia serta penyeragaman sistem pemerintahan sampai pada tingkat yang paling bawah. Demikian juga dengan kebijakan-kebijakan menyangkut daerah yang sangat sentralistis. Daerah tidak berdaya dan hanya menjalankan kebijakan-kebijakan yang terpusat.
Perubahan UUD ini, menggeser model kebijakan yang unitarisme dan sentralistis menjadi kebijakan desentralistis dan lebih menghormati pluralisme. Hal ini nampak pada perubahan pasal 18 UUD 1945. Dalam perubahan ini dihormati dan diperhatikan adanya kekhususan dan keragaman dari berbagai daerah di Indonesia. Jaminan pengaturan yang adil atas hubungan keuangan, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah (pasal 18A ayat (2)), pengakuan atas satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (pasal 18B ayat (1)) serta pengakuan atas masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya yang masih hidup (pasal 18B ayat (2)).
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UUD ini, nampak jelas pada pemberian asas otonomi dan asas tugas pembantuan kepada daerah untuk mengurus pemerintahannya sendiri. Pada saat yang sama, daerah juga diberikan kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan asas tugas pembantuan itu.

Jaminan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum
Untuk menjamin tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai sebuah pilar negara hukum, UUD mengatur mengenai HAM ini dalam satu bab tersendiri yaitu bab XA, dengan 10 pasal serta 24 ayat. Rumusan mengenai HAM dalam UUD ini sangat lengkap yang mencakup seluruh aspek HAM yang diakui secara universal.
Pembatasan atas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
Mengakomodir Sistem Hankamrata
Perubahan ini ini juga mencakup penyempurnaan dalam pengaturan mengenai pertahanan dan keamanan negara dengan mengokomodir sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang selama ini dianut dalam sistem pertahanan dan keamanan kita sebagaimana tertuang dalam pasal 39 ayat (2). Ketentuan ini menegaskan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung, dimana TNI sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara dan POLRI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.
Mempertegas Arah Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Nasional
Perubahan ini juga menegaskan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan nasional. Pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Pemerintah bertanggung jawab untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.
Untuk menjamin percepatan bagi kemajuan pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa, maka UUD menetapkan anggaran minimal yang harus disediakan untuk anggaran pendidikan yaitu 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Di samping itu, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia, memajukan kebudayaan nasional dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, serta menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Mengakomodir Demokrasi Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan
Perubahan ini juga menyempurnakan arah pembangunan dan sistem ekonomi nasional yang semula hanya menekankan pada sistem perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, menjadi sistem ekonomi yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (pasal 31 ayat (4)).
Dengan perubahan ini, diakomodir enam asas penting dalam pembangunan ekonomi yaitu: demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, prinsip efisiensi berkeadilan, prinsip berkelanjutan, prinsip berwawasan lingkungan, prinsip kemandirian serta prinsip menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Banyak sekali paradigma politik baru setelah perubahan UUD ini. Paling tidak ada sepuluh paradigma yang dapat dikemukakan dari perubahan UUD ini, yaitu :
a. Prinsip check and balances dalam hubungan antar lembaga negara;

b. Penguatan sistem pemerintahan demokratis;
c. Mengukuhkan prinsip kedaulatan rakyat;
d. Menganut prinsip negara konstitusionalisme;
e. Penguatan prinsip negara hukum dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia;
f. Pendekatan fungsional dan efisiensi dalam penataan lembaga-lembaga negara, seperti pembubaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA);
g. Jaminan atas pluralisme;
h. Desentralisasi pemerintahan;
i. Peranan negara dalam memajukan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebuadayaan nasional; serta
j. Asas demokrasi ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu prinsip Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara tetap dipertahankan di samping prinsip kemanusiaan, negara kesatuan, keadilan sosial serta permusyawaratan yang tertuang dalam pembukaan tetap dipertahankan.
Perubahan paradigma UUD ini harus membawa perubahan pola pikir, perubahan kultur dari seluruh aparat negara serta perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak lagi sesuai dengan berbagai paradigma baru ini.



DAFTAR PUSTAKA

A.Hamzah, 1986, perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Bandung, Banacipta.
Sunggono, Bambang dan Harianto, Aries, 1994,Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung, Mandar Maju.
Baut, Paul S. (ed), 1989, Remang-remang Indonesia, Laporan Hak Asasi Manusia 1986-1987, Jakarta, Yayasan LBH Indonesia.
Mahfud Md, Moh,1993,Demokrasi dan Konsitusi Indonesia, Yogyakarta,Liberty.
Lubis,T Mulya, (penyunting),1993,Hak-hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
http://www.law.ui.ac.id/

2 komentar: