Perekonomian dunia semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan kebutuhan hidup manusia. Perkembangan ini berhubungan dengan pembangunan di setiap negara, baik dari negara kecil maupun negara besar. Demikian pula pemerintahan Indonesia yang sedang giat melaksanakan pembangunan di sektor ekonomi. Pembangunan di Indonesia dilakukan secara bertahap dan terencana baik itu dengan sistem perekonomian konvensional maupun dengan sistem perekonomian syari’ah. Dalam hal perkembangan perekonomian Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek, aspek-aspek perkembangan perekonomian Indonesia tersebut salah satunya adalah aspek Perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Salah satu sarana dalam menopang perekonomian Indonesia adalah di sektor perbankan, yang berfungsi untuk menjaga kestabilitasan antara nasabah dengan pihak bank. Sebagaimana telah diketahui bahwa bank sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan atas kepercayaan masyarakat, khususnya masyarakat penyimpan dana, bank mempunyai peranan dan posisi yang strategis dalam memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional guna menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.
Sebagai lembaga yang menjadi stabilitas perekonomian nasional, bank merupakan sarana yang berfungsi sebagai lembaga yang membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional dibidang perekonomian guna mencapai masyarakat adil dan makmur. Hal ini disebabkan karena tugas perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya, oleh karena itu dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat terutama nasabah, bank harus senantiasa bergerak cepat guna mencapai atau menghadapi tantangan yang semakin berat dan luas dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional dan tantangan ini tidak hanya akan dihadapi oleh bank pemerintah akan tetapi bank non pemerintah juga memiliki tantangan yang sama dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada pasal 1 poin 16 menyatakan bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank; dan pada pasal 1 poin 17 dijelaskan bahwa nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dijelaskan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral yang berfungsi sebagai lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan lender of the last resort.
Deregulasi pada sektor perbankan telah membawa dampak berupa perkembangan yang pesat dalam industri perbankan, baik dengan bertambahnya jumlah bank ataupun jumlah kantor bank. Dengan bertambahnya jumlah bank dan jumlah kantor bank maka setiap bank dituntut untuk mampu bersaing dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat. Berbagai jasa perbankan dan produk perbankan dikeluarkan guna menarik nasabah sebanyak mungkin, bahkan masing-masing bank berusaha untuk bersaing dalam memberikan tingkat bunga simpanan yang cukup tinggi dan insentif bagi nasabah penyimpan dana, baik berupa hadiah, kemudahan serta penggunaan teknologi canggih guna menunjang berbagai kegiatan tersebut.
Dengan melihat perkembangan jumlah bank, banyaknya jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun dan disalurkan serta penggunaan teknologi yang semakin canggih dapat membuka peluang untuk timbulnya konflik. Didalam pelaksanaan proses perbankan tidak hanya menghasilkan hubungan baik, akan tetapi dapat juga menimbulkan perselisihan yang berdampak kepada sengketa. Maka dari itulah suatu usaha dari skala kecil hingga skala besar akan berhasil dengan baik apabila adanya pembaharuan didalam sistem penyelesaian permasalahan perbankan, karena kemungkinan terjadinya sengketa perbankan pada kartu kredit dapat terjadi pada setiap orang tanpa terkecuali. Didalam permasalahan tersebut biasanya akan diselesaikan secara kekeluargaan dan musyawarah, dan apabila proses penyelesaian permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah maka permasalahan tersebut dapat diselesaikan melalui hukum.
Sebelum adanya peraturan bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan, penyelesaian permasalahan didalam perbankan dapat diselesaikan dengan 2 (dua) alternatif. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara melalui litigasi (proses peradilan) dan dengan cara non litigasi (proses penyelesaian yang tidak melalui lembaga peradilan).
Secara umum pranata proses penyelesaian sengketa melalui litigasi (melalui proses peradilan) dibedakan dalam 2 (dua) bagian. Bagian-bagian tersebut antara lain:
1. Penyelesaian sengketa melalui peradilan Pidana;
Penyelesaian sengketa melalui peradilan pidana terjadi apabila terdapat unsur-unsur kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak, baik itu dilakukan oleh nasabah atau dilakukan oleh pihak bank.
2. Penyelesaian sengketa melalui peradilan perdata;
Penyelesaian sengketa melalui peradilan perdata terjadi apabila salah satu pihak mengalami kerugikan yang bersifat material dan peradilan perdata bersifat absolute competentie yang salah satunya berfungsi untuk menyelesaikan sengketa ganti rugi dalam permasalahan perbankan
Secara umum pranata proses penyelesaian sengketa melalui non litigasi (proses penyelesaian yang tidak melalui proses peradilan) dibedakan dalam 3 (tiga) bagian. Bagian-bagian tersebut antara lain:
1. Mediasi;
Proses penyelesaian melalui mediasi suatu proses penyelesaian sengketa alternatif dimana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berhak atau berwenang untuk memberikan suatu masukan, terlebih dari untuk memutuskan perselisihan yang terjadi.
2. Negosiasi;
Proses penyelesaian melalui negosiasi merupakan suatu proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) yang lain; Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa.
3. Arbitrase.
Proses penyelesaian arbitrase merupakan suatu proses penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sebelum dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan, penyelesaian permasalahan perbankan melalui mediasi telah ada. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya ketentuan untuk melindungi nasabah, yaitu Surat Edaran No. 7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Surat Edaran No.7/25/DPNP tanggal 18 Juli 2005 mengenai Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Setelah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan maka didalam penyelesaian permasalahan perbankan, khususnya penyelesaian permasalahan perbankan di Indonesia secara tegas diselesaikan melalui mediasi. Pola penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui mediasi di dalam khasanah hukum Indonesia merupakan bagian dari pola penyelesaian melalui jalur alternatif, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan sebagai berikut:
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Dan dalam Pasal 2 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum disebutkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Mediasi perbankan ini sangat penting karena mencakup aspek perlindungan konsumen. Itu sebabnya, lembaga mediasi perbankan mutlak diperlukan oleh konsumen atau nasabah membutuhkan saluran perbankan yang independent dan tidak berat sebelah.
Dalam perkembangannya, dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, penyelesaian sengketa di bidang perbankan yang terjadi diantara bank dengan nasabah dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Pola penyelesaian mediasi ini merupakan tindak lanjut dari prosedur penanganan pengaduan nasabah sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Seiring perkembangan zaman Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan mengalami perubahan, hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 10/I/PBI/2008 tanggal 29 Januari 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
Penyelesaian sengketa secara mediasi mempunyai daya tarik tersendiri karena keserasiannya dengan sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia secara majemuk. menyebutkan bahwa ada beberapa keuntungan yang sering muncul dalam dalam sebuah upaya penyelesaian sengketa perbankan, yaitu:
1. sifat kesukarelaan dalam proses penyelesaian;
2. prosedur yang tepat, cepat;
3. keputusan non-yudisial;
4. prosedur penyelesaian sangat rahasia (confidentiality ).
Dalam proses penyelesaian permasalahan ini bersifat fleksibel dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah, hemat waktu, hemat biaya, pemeliharaan hubungan, tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, kontrol dan kemudahan untuk memperkirakan hasil dan keputusan yang bertahan sepanjang waktu. Di samping itu, proses penerapan sanksi terhadap berbagai sengketa melalui mediasi bersifat tegas dan pasti karena menyangkut kepentingan publik secara luas. Ketegasan tersebut dimaksudkan untuk memelihara kepentingan pihak lain dan tidak terganggunya sistem sosial yang telah dipraktekkan bersama-sama. Sanksi tersebut juga tidak bersifat baku; ia sesuai dengan kondisi karena sanksi tersebut merupakan kesepakatan yang harus dijalani bersama. Sifat ini menandakan bahwa keputusan mediator sangat fleksibel, tidak sebagaimana hukum formal.
Mekanisme penyelesaian mediasi berdasarkan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/I/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana dikemukakan oleh Luqman Hakim pengajuan mediasi harus dimulai dengan mengajukan permohonan yang dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank kepada Lembaga Mediasi Perbankan, karena Lembaga Mediasi Perbankan belum terbentuk maka untuk sementara Bank Indonesia memfasilitasi dalam menyelesaikan melalui mediasi tersebut. Sebelum masing-masing pihak melakukan mediasi yang di fasilitasi oleh Bank Indonesia maka pihak-pihak yang bersengketa tersebut harus melakukan kesepakatan untuk menyelesaikan melalui mediasi atau Agreement to mediatee. Hal ini disebabkan karena permasalahan mediasi harus berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak untuk melakukan mediasi.
mediasi oleh mediasi perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa transaksi keuangan di luar pengadilan. mediasi adalah proses penyelesaian sengketa badan usaha yang kegiatan utamanya menghimpun dana dari masyarakat dan memberikan pinjaman bagi masyarakat yang membutuhkan, disamping memberikan berbagai macam jasa seperti tempat menukar uang, memindahkan uang atau menerima pembayaran dan setoran dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia dengan pertimbangan bahwa penyelesaian pengaduan oleh bank yang tidak memuaskan nasabah berpotensi menimbulkan sengketa perbankan. Dalam hal ini, apabila sengketa tersebut tidak segera ditangani maka dalam jangka panjang akan dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga perbankan sehingga perlu dilakukan fasilitasi melalui mediasi perbankan guna menjembatani penyelesaian sengketa perbankan tersebut.
Menunjuk Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, bersama ini kami informasikan bahwa Bank Indonesia telah menjalankan fungsi mediasi perbankan sebagai sarana yang sederhana, murah, dan cepat dalam hal penyelesaian pengaduan nasabah oleh Bank belum dapat memuaskan nasabah dan menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Pengajuan penyelesaian sengketa dimaksud dapat disampaikan kepada Bank Indonesia oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan.
2. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa yang timbul dari hasil penyelesaian pengaduan Nasabah yang telah dilakukan oleh Bank.
3. Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immaterial. Yang dimaksud kerugian immaterial antara lain adalah kerugian karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
4. Nilai tuntutan finansial diajukan dalam mata uang rupiah dengan jumlah maksimal adalah Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jumlah tersebut dapat berupa kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaiannya Sengketa.
5. Batas waktu pengajuan adalah paling lambat 60 (enampuluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah dari Bank
6. Nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada lembaga Mediasi perbankan secara tertulis dengan menggunakan formulir terlampir atau dibuat sendiri oleh Nasabah dan dilengkapi dokumen pendukung antara lain:
a. Foto copy surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan Bank kepada Nasabah.
b. Foto copy bukti identitas Nasabah yang masih berlaku.
c. Surat penyataan yang ditandatangani di atas meterai yang cukup bahwa Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau telah mendapatkan keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan, atau lembaga Mediasi lainnya dan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia.
d. Foto copy dokumen pendukung yang terkait dengan Sengketa yang diajukan
e. Foto copy surat kuasa, dalam hal pengajuan penyelesaian Sengketa dikuasakan.
7. Formulir yang telah diisi dan dilengkapi dokumen pendukung disampaikan kepada :
Bank Indonesia
Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
Menara Radius Prawiro lantai 19
Jalan MH Thamrin No. 2
Jakarta 10110
• Dengan tembusan kepada Bank Mandiri cabang setempat.
adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
Sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan, penyelenggaraan mediasi dilakukan apabila sengketa antara nasabah dengan Bank yang disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh Bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah dapat diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi perbankan.
Saat ini mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia sampai dengan selambat-lambatnya 31 Desember 2007. Setelah tanggal tersebut mediasi dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan yang independen. Fungsi mediasi perbankan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia terbatas pada upaya membantu nasabah dan Bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan. Bank Indonesia tidak memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada nasabah dan Bank. Proses mediasi dapat dilakukan di kantor Bank Indonesia yang terdekat dengan domisili nasabah.
A. Pengajuan Penyelesaian Sengketa
1. Pengajuan penyelesaian sengketa kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum, dan atau Bank lain yang menjadi nasabah Bank tersebut.
2. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan.
3. Nilai tuntutan finansial dalam mediasi perbankan diajukan dalam mata uang Rupiah dengan batas paling banyak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Jumlah maksimum nilai tuntutan finansial sebagaimana dimaksud pada angka 3 di atas dapat berupa nilai kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk mendapatkan penyelesaian sengketa.
5. Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pengajuan Penyelesaian sengketa (Formulir isian dapat diambil pada cabang Bank terdekat). Formulir ini ditujukan kepada: Direktorat Investigasi dan mediasi perbankan, Bank Indonesia Menara Radius Prawiro Lt. 19 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110 Dengan tembusan disampaikan kepada Bank yang bersangkutan
6. Pengajuan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari Bank sampai dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian sengketa oleh pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari nasabah atau tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui pos. Contoh: Apabila tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari Bank kepada nasabah adalah pada tanggal 5 Juni 2006, maka pengajuan penyelesaian sengketa kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari nasabah atau tanggal stempel pos (apabila disampaikan melalui pos) dilakukan paling lambat pada tanggal 30 Agustus 2006.
7. Proses mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dihitung sejak nasabah dan Bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan.
8. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 7 dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan Bank yang dituangkan secara tertulis.
9. Kesepakatan tertulis mengenai perpanjangan waktu pelaksanaan proses mediasi sebagaimana dimaksud pada angka 8 mencantumkan secara jelas alasan dilakukannya perpanjangan waktu, antara lain untuk menghadirkan narasumber tertentu yang memiliki keahlian dan kompetensi sesuai masalah yang disengketakan. Perpanjangan waktu dimaksud dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan : a. Para pihak memiliki itikad baik dengan mematuhi aturan mediasi dan perjanjian mediasi (agreement to mediate) b. Jangka waktu proses mediasi hampir berakhir, namun menurut penilaian mediator masih terdapat prospek untuk tercapai kesepakatan.
10. Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi dituangkan dalam suatu Akta Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan Bank. Yang dimaksud dengan bersifat final adalah sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk dilakukan proses mediasi ulang pada pelaksana fungsi mediasi perbankan. Yang dimaksud dengan mengikat adalah kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi nasabah dan Bank yang harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Ini merupakan salah satu langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Keberadaan lembaga tersebut sebetulnya merupakan suatu terobosan seperti di negara lain karena kita ingin memberdayakan konsumen, yakni nasabah perbankan.
Dengan hadirnya lembaga mediasi perbankan, bukan berarti, kita ingin melindungi nasabah atau bank dari tuntutan hukum, tapi kita memperjelas mekanisme komplain. Jadi, kalau kelak ada nasabah mengomplain jasa perbankan, kita akan mengatur mekanismenya. Sehingga, di kemudian hari, kalau mekanismenya jelas, hasilnya pun akan jelas. Namun, bila lembaga mediasi perbankan nanti hadir, tolong jangan dilihat bahwa nanti BI akan lebih berpihak kepada nasabah. Nah, yang mesti dipahami, kalau terdapat komplain dari nasabah, sebenarnya, hal itu bukan semata-mata kepentingan nasabah. Tapi, penyelesaian komplain sebenarnya juga untuk kepentingan bank. Karena, paling tidak, dalam mekanisme komplain ini, lebih banyak kepentingan untuk bank.
Pertama, bank bisa membuat nasabah menjadi lebih betah karena setiap ada persoalan yang dirasakan oleh nasabah dapat dijawab dengan jelas oleh bank. Bila nasabah makin betah, diharapkan akan menunjukkan loyalitas nasabah yang akan makin teruji.
Kedua, adanya komplain dapat menjadi informasi berharga bagi manajemen bank. Dengan demikian, kalau manajemen bank mengetahui bahwa ternyata komplain banyak terjadi pada bidang tertentu, misalnya, dapat segera diperbaiki. Terkait dengan loyalitas nasabah, dengan adanya komplain nasabah, akan menjadi warning bagi bank. Artinya, manajemen bank yang bersangkutan menjadi tahu, aspek mana saja yang banyak dikeluhkan nasabah. Dengan demikian, aspek tersebut dapat langsung diperbaiki sisi lemahnya.
Manfaat lain bagi bank, bagian market research pada bank tersebut jadi mengetahui kelemahannya di mana saja. Hal ini menjadikan efisiensi karena market research tak perlu menyewa orang luar. Selain itu, reputasi bank bersangkutan makin bagus karena layanan bank tersebut juga mengalami perbaikan.
Hal lain, bila terdapat negative publicity, bisa segera diketahui atau diminimalisasi. Daripada ketidakpuasan nasabah terhadap suatu bank dituliskan di surat pembaca media massa, lebih baik langsung ditangani. Sebab, kalau mereka komplain di media massa, setidaknya, reputasi bank tersebut bakal jelek. Jadi, sekali lagi, jangan dilihat lembaga ini hanya untuk konsumen semata. Karena, banyak juga manfaatnya bagi bank. Walaupun namanya perlindungan pada nasabah, tapi, sebetulnya, banyak manfaatnya untuk kedua pihak.
Kelak, ada dua hal yang menjadi output dari kegiatan lembaga ini. Pertama adalah complain management. Mekanisme pengaduan tersebut nothing to do dengan lembaga. Di mana, nanti, kita akan memintakan kepada bank untuk menunjuk tim khusus yang menangani persoalan bila terjadi komplain. Dalam mekanisme itu, tidak perlu ada lembaga. Lembaga itu baru akan ada dan diperlukan kalau ternyata dari komplain normal ini nasabah juga tak puas, sehingga dia bisa mengajukan ke pengadilan. Tapi, kalau menempuh mekanisme pengadilan, akan mahal biayanya. Oleh karena itu, mereka bisa pergi ke lembaga mediasi yang kami bentuk ini.
Lembaga ini tentunya akan berfungsi sebagai lembaga mediasi perbankan. Dan, tentu saja, lembaga mediasi itu bisa hanya berperan sebagai mediator yang mempertemukan dua pihak tersebut. Atau, bisa juga, lembaga ini bertindak sebagai arbitrator. Tapi, yang jelas, kedua kemungkinan itu bisa saja dilakukan. Selain sebagai mediator, bisa juga nanti dilengkapi dengan fungsi arbitrator. Itu yang penting.
Dalam membentuk lembaga mediasi tersebut, tim telah belajar dari lembaga sejenis yang sudah ada di negara lain. Memang, ada kemungkinan, lembaga mediasi ini berada di dalam BI dan di luar BI. Bila berada di luar BI, kami sebut independent mediation agency. Jadi, semacam lembaga independen yang terdapat perwakilan nasabah di dalamnya. Ada juga perwakilan bank dan pihak independen. Ada yang berfungsi sebagai manajer, ada mediator, dan ada administrasinya. Lembaga semacam ini betul-betul pure mediasinya.
Bila melihat maksud baik dan mekanisme yang ditempuh dalam proses penyelesaian komplain nasabah, seharusnya, kekhawatiran yang ada tidak perlu terjadi. Karena, memang, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Sekali lagi, prinsip kami adalah untuk membantu bank dan nasabah.
Dalam praktiknya, ketika lembaga ini sudah berjalan, ada kemungkinan, akan dikenakan fee. Akan tetapi, mengenai hal tersebut, nanti akan ditentukan kalau lembaga tersebut sudah berdiri. Jadi, kalau ada bank yang ingin menjadi anggota lembaga itu, ada tarifnya. Tapi, itu belum kami tentukan.
Ketika lembaga ini bekerja menyelesaikan masalah, nanti, terdapat ketentuan. Misalnya, dalam hitungan berapa hari komplain nasabah diajukan, pihak bank harus menanggapinya. Hal ini akan ada batasan-batasannya. Batasan yang ada maksimal sampai 60 hari. Kalau seorang nasabah mempunyai kasus besar, tentu, harus dipelajari terlebih dahulu kasusnya, lalu dilihat dari sisi hukumnya. Kalau komplain tersebut terkait dengan information technology (IT), kemacetannya terletak di mana ’kan harus dicek.
Kami memahami adanya concern dari pihak perbankan. Tapi, yang jelas, ide awal pembentukan lembaga ini adalah win-win solution. Artinya, bukan hanya nasabah yang diberi keuntungan. Bank juga akan banyak menerima manfaat.
Yang juga perlu dicatat, lembaga mediasi ini nantinya tidak berkaitan dengan persoalan pidana atau perdata. Karena, ini merupakan bentuk penyelesaian di luar pengadilan. Bila terkait dengan perdata atau pidana, pihak pengadilan yang menentukan. Lembaga ini betul-betul murni menjalankan peran mediasi. Jadi, kedua pihak yang berselisih dipertemukan dan didampingi mediator, lalu dikemukakan ketentuan atau peraturannya. Kalau kemudian ternyata masih ada pihak yang tidak puas juga, ya silakan masuk ke perdata atau pidana.
Good job bro bagus banget tulisannya. Thankyou
BalasHapus