Senin, 06 April 2009

www.bankdunia.blogspot.com

-Bank Dunia (tekanan ditambahkan), 200181

Pada masa tahun 1980-an dan 1990-an, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7-10 persen per tahun, membuat Indonesia menjadi salah satu negara "Macan" Asia dalam bidang ekonomi. Kondisi ini berubah total pada bulan Agustus 1997. Menyusul ambruknya baht Thailand, investasi asing melarikan diri dan terjadi kekacauan dalam spekulasi nilai mata uang. Kepanikan para investor dan penurunan nilai mata uang "menular" ke Indonesia dan nilai rupiah Indonesia mulai jatuh, turun 70 persen dalam waktu hanya lima bulan. Tingkat inflasi naik hingga 80 persen dan ekonomi menyusut sebesar 14 persen. Tingkat pengangguran naik hampir 20 persen. Bagi yang beruntung dapat tetap bekerja, upah riil turun sebesar 35 persen, sementara harga pangan meningkat 115 persen.82 Para pejabat memperkirakan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat lebih dari 60 persen. 83

Menanggapi krisis ekonomi dan keruntuhan sistem perbankan, pada awal tahun 1998 IMF membantu pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertujuan melikuidasi, menggabung ("merger"), atau merekapitalisasi bank-bank yang tidak sehat dan menjual aset-aset perusahaan-perusahaan berhutang senilai Rp 600 triliun untuk memulihkan likuiditas yang dipinjamkan ke bank-bank yang tidak sehat pada tahun 1997 dan mengurangi hutang dalam negeri. BPPN, yang mandatnya seharusnya berakhir pada tahun 2004, telah dilanda berbagai kontroversi dan perubahan kepemimpinan84 karena kelambatan perkembangan penjualan aset, rendahnya tingkat pemulihan (10-20 persen), dan berbagai tuduhan tindakan kolusi dengan para kreditor yang mempunyai kekuasaan. Para kreditor tersebut, yang kebanyakan memiliki saham utama di perusahaan kehutanan, meminta perpanjangan jadual pembayaran hutang, pengurangan hutang, atau pembelian kembali aset-aset dengan harga yang lebih rendah.85

Para analis secara sangat yakin menunjukkan bahwa persoalan kredit macet, salah kelola, dan pengaturan perusahaan yang buruk telah berlangsung selama ini dan akan terus berlangsung dalam sektor kehutanan.86 Dari total hutang swasta kepada BPPN sebesar 51,5 miliar dolar AS pada tahun 2000, sebesar 3,1 miliar dolar AS adalah pinjaman untuk industri kehutanan; lebih dari setengahnya merupakan kredit bermasalah.87 Selain hutang dalam negeri, produsen pulp dan kertas Indonesia mempunyai hutang sebesar 17 miliar dolar AS dalam bentuk valuta asing. Dari jumlah hutang tersebut, 85 persen adalah hutang Sinar Mas (12 miliar dolar AS) dan Raja Garuda Mas (1,6 miliar dolar AS), yang menjalankan dua operasi perusahaan pulp dan kertas terbesar di Indonesia dan keduanya berada di Riau.88

Kredit macet yang telah berakumulasi sejak tahun 1998 ini sebagian besar adalah akibat due diligence biaya dan risiko proyek yang tidak tepat. Lazimnya, risiko ini muncul karena ada asumsi bank bahwa pemerintah akan menutupi seluruh kerugian. Sejak tahun 1998, IMF mengharuskan pemerintah mengeluarkan jaminan penuh untuk seluruh bank supaya dapat mempertahankan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Ini dilakukan agar masyarakat tidak menarik depositonya dari bank, meskipun sebelum tahun 1998 terbentuk pengertian implisit bahwa pemerintah akan menutupi pinjaman yang tidak terbayar karena para debitor mempunyai pengaruh dalam sektor pemerintahan dan perbankan. Pengertian ini jelas merupakan bentuk aji mumpung (moral hazard), karena risiko tidak ditanggung oleh para debitor, sehingga justru mendorong para penghutang mengambil tindakan berisiko tinggi daripada menjatuhkan hukuman kepada mereka.89

Kelamahan dalam hal due diligence tercermin darlam rekapitalisasi berulang-ulang yang dilakukan pemerintah terhadap 7 bank domestik yang dikuasai atau di dibentuk oleh para konglomerat.90 Dari sejumlah bank ini, enam bank dimiliki oleh para konglomerat yang mempunyai hubungan dengan perusahaan kehutanan. Contoh utama dari dinamika ini adalah Bank International Indonesia (BII), yang dikuasai oleh Sinar Mas, yang juga menguasai APP. BII telah direkapitalisasi melalui penawaran saham yang lebih banyak untuk menambah modal. Karena tidak ada pembeli lain yang tertarik, saham-saham tersebut dibeli oleh pemerintah Indonesia senilai Rp. 21 triliun, atau 2 miliar dolar AS, meskipun bank tersebut mempunyai kredit macet sebesar 1,2 miliar dolar AS ke cabang-cabang Sinar Mas; dari jumlah tersebut 1 miliar dolar AS adalah hutang APP.91 Sebenarnya, bank ini meminjamkan uang ke cabang-cabangnya sendiri (yang kemudian tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut), sementara sebagai pembeli utama hutang baru tersebut, pemerintah secara efektif menjadi penjamin pinjaman yang macet tersebut.

BPPN dan IMF baru-baru ini menyetujui penawaran saham baru untuk dilakukan BII senilai 535 juta dolar AS, meskipun pemerintah mengakui kemungkinan akan menjadi pembeli tunggal saham tersebut, seperti yang terjadi pada penawaran saham tahun 2001 senilai 1,5 miliar dolar AS. Dengan bantuan IMF, pemerintah menutupi pinjaman yang kemudian dipinjamkan oleh Sinar Mas ke kelompoknya sendiri dan kemudian gagal mengembalikannya. Tanpa adanya pengawasan BPPN dan IMF yang akan menjamin pergantian kepemilikan,92 bank-bank akan direkapitalisasi dan aset-aset dijual dengan potongan harga sebesar 10-30 persen dari nilai asal, sehingga para pemilik lama dapat membelinya kembali dan melikuidasi 70-90 persen hutang mereka dengan gratis.93

Sebagai pembeli utama saham yang ditawarkan BII, sekarang pemerintah memegang 80 persen saham bank tersebut, dan tetap enggan untuk menutupnya. Pemerintah tetap berpendapat bahwa jika BII dibiarkan bangkrut, maka akan membutuhkan biaya yang lebih banyak daripada merekapitalisasi karena pemerintah harus menggantikan simpanan para penabung yang hilang. Akan tetapi, kenyataanya tidak demikian. Analis keuangan Indonesia Drajat Wibowo, yang menentang penawaran saham baru, mengkritik pendapat ini. Drajat mengemukakan bahwa pada tahun 1999, ketika rekapitalisasi pertama terjadi, jumlah deposit saat itu adalah Rp13 triliun; sebelum tahun 2001, pemerintah mengeluarkan Rp. 21 triliun dan Rp. 5,4 triliun tambahan untuk penawaran saham baru pada tahun 2002.94 Biaya tersebut terus meningkat karena pemerintah merekapitalisasi BII secara berulang-ulang.

Sementara itu, dana untuk merekapitalisasi bank-bank yang bangkrut berjumlah 64 miliar dolar AS dalam bentuk hutang publik (dipinjam dari IMF dan dari surat obligasi), jumlah terbesar yang dikeluarkan untuk menjamin bank oleh suatu negara manapun di dunia.95 CLSA (suatu unit kelompok jasa keuangan Credit Lyonnais) memperkirakan bahwa hutang publik Indonesia mencapai 109.1 persen dari PDB tahun lalu, meningkat dari 23 persen pada tahun 1996 sebelum terjadi krisis keuangan.96 Diperkirakan pada tahun 1999/2000 kurang lebih 44 persen anggaran negara digunakan untuk membayar hutang ini, dan pada tahun 2004 persentase ini akan menjadi lebih dari 55 persen.97 Selain menghabiskan anggaran negara yang seharusnya dapat digunakan untuk pelayanan masyarakat, batas jatuh tempo sebagian besar pinjaman tersebut yang segera terjadi pada tahun 2003-2004 mengancam terjadinya krisis ekonomi lebih lanjut. Dalam sebuah laporan bulan November untuk negara-negara asing yang memberi bantuan dan pinjaman ke Indonesia, Bank Dunia memperingatkan bahwa tingkat hutang negara dan jasa hutang yang tinggi "bukan saja merupakan produk ketidakstabilan yang dialami Indonesia selama empat tahun terakhir - tetapi sekarang juga menjadi penyebab potensial ketidakstabilan ekonomi."

Produksi yang berkelebihan dan hutang APP
Perluasan kapasitas produksi sektor pulp dan kertas Indonesia pada masa sepuluh tahun terakhir dibiayai oleh hutang. Sejumlah 12 miliar dolar AS dikumpulkan dalam bentuk pinjaman modal langsung atau penawaran surat obligasi di pasar Amerika Utara dan Eropa - suatu bentuk investasi yang ternyata merupakan pertaruhan yang buruk.

Dengan beban hutang sebesar 13,9 miliar dolar AS, APP menjadi contoh jelas spekulasi yang sembrono. Untuk membiayai perluasan operasinya dan untuk melanjutkan pembayaran bunga hutang-hutang sebelumnya, APP mulai mengakumulasi hutang valuta asing dalam jumlah besar selama tahun 1990-an dari berbagai ragam lembaga keuangan di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Strategi ini terbukti terus berhasil, bahkan setelah terjadi krisis ekonomi. Akan tetapi, pada bulan Maret tahun 2001, entusiasme investor berbalik arah ketika APP gagal membayar hutang-hutangnya. Strategi APP dalam memperoleh hutang yang lebih banyak untuk digunakan membayar hutang sebelumnya mulai ambruk pada awal tahun 1990-an ketika batas jatuh tempo pinjaman-pinjaman tersebut tiba dan harga kertas dunia jatuh.98 APP membutuhkan hampir 1 miliar dolar AS untuk membayar bunga obligasinya saja-yaitu jumlah yang sama dengan setengah dari bunga tahunan total hutang negara Indonesia pada tahun 1997, atau seperlima dari total tahun 2000. Selain itu, sebagian besar hutang APP berasal dari sumber-sumber dari bank-bank di luar negeri, dan pembayaran pinjaman-pinjaman dalam mata uang dolar menjadi sangat tinggi setelah rupiah jatuh. Pada tanggal 5 Juli 2001 saham APP dicopot dari New York Stock Exchange (NYSE).99 Nilai saham turun dari 16,25 dolar AS per saham pada bulan September tahun 1997 menjadi hanya 8 sen dolar AS pada saat ditutup tahun 2001. Berita utama tentang APP di berbagai jurnal keuangan, yang pada bulan Oktober tahun 2000 mengumumkan potensi investasi APP sebagai "Rongsokan Menjadi Emas" pada bulan Agustus tahun 2001 berubah menjadi "Transaksi Terburuk di Asia."100

Masalah hutang spektakuler APP tersebut menunjukkan bagaimana risiko keuangan yang signifikan telah dilalaikan dan terus diabaikan oleh seluruh pihak yang terlibat-oleh APP, para investor dan penjamin, pengatur negara Indonesia, dan para donor internasional. Seperti operasi pulp dan kertas lainnya yang bermasalah, risiko ini mencakup potensi besar untuk timbulnya konflik sosial di sekitar operasi pabrik. APP dan para konglomerat lain di sektor kehutanan telah mengabaikan risiko ini karena mereka tidak memiliki motivasi untuk memperhatikannya dan merasa yakin bahwa mereka dapat menghindarkan diri dari beban tanggung jawab utama dalam bidang keuangan dan hukum.

"Reformasi" dan Sektor Kehutanan
Kejatuhan Soeharto pada bulan Mei tahun 1998 menggembar-gemborkan reformasi pemerintahan untuk semua dan berakhirnya "kolusi, korupsi, dan nepotisme." Perubahan yang mendadak dan dramatis dalam retorika politik yang berlaku saat itu membawa perubahan yang membangkitkan harapan ke arah pengelolaan sumber daya yang lebih demokratis. Berbagai lembaga keuangan mengakui secara terbuka beban yang tidak pantas ditanggung oleh perekonomian bangsa sebagai akibat korupsi, dan tentu saja menyalahkan `kapitalisme kroni' pemerintahan Soeharto atas krisis yang terjadi. Lebih jauh lagi, beberapa donor internasional utama akhirnya juga mengakui bahwa korupsi di masa Soeharto telah menghabiskan sumber daya hutan, yang hanya memberi sedikit keuntungan kepada masyarakat atau pemerintah lokal tempat penebangan hutan berlangsung selama ini. Para donor tersebut secara terbuka juga menyoroti risiko akibat penggunaan hutan secara serampangan terhadap pertumbuhan ekonomi di masa depan.101

Dengan pergantian pemerintahan yang telah terjadi, masyarakat menuntut pelaksanaan reformasi dan distribusi penguasaan kekayaan yang lebih merata dari hasil penggalian sumber daya alam. Sebagai salah satu penyumbang PDB tertinggi dan pemasok 60 persen produksi minyak nasional, tetapi lebih dari 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, Riau merupakan salah satu contoh yang sangat buruk dari ketidakadilan dalam perolehan pendapatan102-suatu kenyataan yang mendorong gerakan yang kecil tetapi vokal untuk memisahkan diri.103 Tekanan untuk melakukan reformasi ini, terutama setelah pelaksanaan referendum Timor Timur,104 akhirnya mendesak beberapa perubahan di birokrasi pemerintahan yang sangat sentralistis. Presiden masa transisi, B.J. Habibie, menandatangani undang-undang desentralisasi administratif dan fiskal (Undang-undang No.22/1999 dan 25/1999),105 yang secara teoritis membiarkan pemerintah kabupaten untuk menjalankan pemerintahan sendiri dalam hampir semua bidang kecuali dalam beberapa bidang pokok tertentu.106 Undang-undang yang baru ini juga memberdayakan kabupaten untuk mengeluarkan izin pemanfaatan sumber daya yang sebelumnya dikeluarkan oleh departemen-departemen pusat dan menerima pendapatan bersih setelah dikurangi pajak dari minyak sebesar 15 persen, gas alam 30 persen, pertambangan, perikananan, dan kehutanan sebesar 80 persen yang berasal dari usaha-usaha sumber daya yang terdapat dalam wilayah masing-masing.107

Akan tetapi, hingga saat ini, demokrasi di bidang pengelolaan sumber daya alam masih berubah-ubah, dan beberapa perubahan kebijakan justru menambah tekanan pada hutan. Desentralisasi dan reformasi, yang seharusnya menciptakan keadilan dan keberlanjutan, malah menimbulkan persoalan perebutan sumber daya yang rumit, bukan saja di antara pusat dan daerah pinggiran, tetapi juga di antara pihak-pihak yang mengaku mewakili kepentingan "lokal." Selain itu, sejak pelaksanaan desentralisasi pada bulan Januari tahun 2001, berbagai provinsi dan kabupaten administratif baru bertambah dengan cepat. Jumlah provinsi bertambah dari 26 menjadi 33, dan jumlah kabupaten meningkat menjadi 390. Di Riau, jumlah kabupaten melompat dari 6 menjadi 15. Penguasaan atas sumber daya alam yang berharga sering memegang peran utama dalam penentuan ulang batas-batas administratif, sementara para pejabat mencoba membatasi penguasaan atas pemanfaatan sumber daya dan pendapatan. Contohnya di Sulawesi Selatan di sekitar pertambangan nikel INCO, di Maluku Utara di sekitar pertambangan emas, di pulau-pulau lepas dari Riau di sekitar wilayah pembangunan industri yang menguntungkan di zona perdagangan bebas Batam dan ekspor pasir ke Singapura.108 Skenario ini, yang disusun dalam konteks penegakan hukum sistem peradilan yang korup dan tidak berfungsi, telah meningkatkan perebutan penguasaan sumber daya di daerah.

Undang-undang desentralisasi, yang secara resmi dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2001, untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan (dan untuk beberapa daerah, sejak masa kolonial) memberi janji demokrasi bagi pemerintah daerah sehingga berhak mengatur urusannya masing-masing. Tetapi, janji perubahan administratif yang ambisius ini tidak diiringi oleh perencanaan yang baik. Setelah 56 tahun menjalani pemerintahan yang sentralistis, tugas maha besar membangun infrastruktur administrasi kabupaten, mengembangkan kapasitas pegawai pemerintah dan birokrasi dalam mengelola sumber daya baru, dan memindahkan lebih dari dua juta pegawai negeri dari kantor pusat ke kantor-kantor provinsi, membuat banyak kabupaten mengalami kesulitan besar dalam wewenang dan tanggung jawab mereka yang baru. Akibat tidak ada pengawasan atas peraturan lokal atau anggaran, pemerintah lokal banyak yang mengambil kesempatan untuk mengeluarkan undang-undang yang mengizinkan mereka menarik pajak yang tinggi dari investasi, mengubah produk-produk ilegal (termasuk kayu yang diambil dari hutan alam atau taman nasional) menjadi "legal" hanya dengan membayar pajak daerah.109 Peraturan tingkat nasional, seperti peraturan konservasi sumber daya hutan, ditiadakan pada tingkat lokal karena di bawah otonomi daerah, peraturan tersebut tidak lagi mengikat.

Pelaksanaan reformasi yang tidak lengkap menyebabkan ketidakpastian dan kekacauan dalam hal yurisdiksi dan membuat banyak pejabat di pemerintah pusat meminta berbalik ke sentralisasi. Bahkan, sewaktu laporan ini disiapkan, undang-undang untuk kembali ke sentralisasi disahkan untuk berbagai aspek perizinan dan perencanaan konservasi kehutanan 110 dan rancangan undang-undang yang memberi kekuasaan kepada Presiden untuk membubarkan DPRD dan mencabut undang-undang daerah.111 Alasan tindakan ini bermacam-macam. Para nasionalis keras di kalangan pemerintah, salah satunya Presiden Megawati, menyatakan keprihatinan mereka tentang desentralisasi yang berpotensi menjadi motor timbulnya rasa "kebanggaan etnis yang berlebihan" dan disintegrasi kesatuan nasional.112 Para pendukung industri menyatakan kekhawatiran mereka tentang faktor kenaikan pajak dan ketidakpastian hukum yang terkait dengan desentralisasi merupakan faktor yang merugikan bagi investasi. Sementara itu, para pemerhati lingkungan mengkhawatirkan faktor kelemahan penegakan hukum dan keharusan untuk menghasilkan pendapatan lokal akan mengarah ke pengurasan sumber daya alam secara cepat. Berbagai kritik tersebut berasal dari kenyataan bahwa desentralisasi yang dilaksanakan sering menggantikan pemerintahan pusat di Jakarta yang tidak transparan dan tidak bertanggung jawab dengan bentuk yang sama tetapi skalanya lebih kecil di daerah. Hingga saat ini, desentralisasi telah gagal memberikan solusi untuk persoalan kurangnya partisipasi politik yang berarti (baik di tingkat lokal dan nasional) dan persoalan penegakan hukum yang masih sangat lemah.

Provinsi Riau merupakan contoh kasus. Dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit (5 juta orang) dan kekayaan sumber daya alamnya, Riau dipandang sebagai salah satu "pemenang" dalam desentralisasi. Walaupun beberapa provinsi yang tidak memiliki sumber daya alam telah mengalami penderitaan di bawah tanggung jawab keuangan yang baru bagi pemerintah daerah dan kebijakan pengurangan pendapatan dari pusat, beberapa analis menggambarkan Riau sebagai "Brunei yang lain" - karena sekarang dapat mengakses pendapatan sebanyak 15 persen dari minyak dan 80 persen dari hutan, sehingga dalam tahun pertama memperoleh lonjakan pendapatan tahunan provinsi dari Rp 185 miliar (19,9 juta dolar AS) menjadi Rp 3,98 triliun.113 Memang, data IMF and Bank Dunia menunjukkan "Kapasitas Total Pendapatan Per Kapita" di Riau sebagai yang tertinggi kedua di Indonesia (setelah Kalimantan).114 Akan tetapi, bukti pendapatan baru ini sukar diperoleh di daerah pedesaan di Riau. Kenaikan pendapatan tersebut belum terlihat memperbaiki berbagai pelayanan atau kapasitas pemerintahan lokal. Desentralisasi belum memperbaiki jalan-jalan yang rusak, sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit yang kekurangan dana yang berada di provinsi tersebut. Pada saat penelitian di lapangan, para peneliti HRW mengamati gubuk-gubuk kayu sederhana, tanpa listrik atau air ledeng, memenuhi pinggiran perkebunan kelapa sawit dan akasia yang luas, dan berderet di jaringan pipa minyak yang menyebrang seluruh provinsi, kadang-kadang melewati halaman depan masyarakat.

Sebaliknya, desentralisasi memberi dampak yang signifikan terhadap hutan-hutan lokal-dan bukan untuk kebaikan.115 Ketidakmampuan administrasi pemerintah, kebutuhan dana yang mendesak, dan korupsi lokal menyebabkan pemberian izin-izin baru meingkat pesat dalam waktu yang singkat untuk pembukaan hutan. Wewenang untuk mengeluarkan izin ekstraksi kayu dan izin perkebunan telah didelegasikan kepada para Bupati, tetapi tetap saja ada kekacauan dalam menentukan luas lahan yang diberi izin. Akibatnya, banyak kabupaten begitu saja mengizinkan semua lahan, dan kadang-kadang izin diberikan kepada lebih dari satu pihak. Para ahli kehutanan menuduh bahwa kekacauan yurisdiksi dan kurangnya survei yang memadai sering menyebabkan pemberian izin yang saling tumpang tindih dan menimbulkan konflik dalam hal menentukan pihak yang berkuasa atas hutan.116 Bahkan, data Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa jumlah izin yang disetujui untuk pembukaan hutan jauh melebihi jumlah hutan yang boleh dikonversi. Di Sumatera saja kelebihan ini mencapai 2,5 juta hektar.117

Selain itu, pada tahun 2000, Departemen Kehutanan mengeluarkan penghentian sementara (moratorium) "konversi hutan" (penebangan hutan untuk dikonversi menjadi ke areal perkebunan) untuk memenuhi persyaratan yang diajukan IMF118 dan sebagai komitmen kepada donor-donor lain dalam CGI.119 Akan tetapi, pelaksanaan penundaan tersebut dipersulit oleh pertikaian antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat tentang pembagian wewenang atas pengelolaan hutan. Para pejabat lokal di kabupaten menegaskan bahwa secara teknis, di era desentralisasi, penundaan tersebut tidak berlaku lagi karena sekarang daerah (kabupaten) memiliki wewenang mengatur hutan, sementara Departemen bersikeras bahwa penundaan tersebut harus dilakukan.120 Akibatnya, penundaan tersebut tetap berlaku, tetapi pengaruhnya sangat kecil terhadap kecepatan tebang habis terhadap hutan.

Oleh sebab itu, desentralisasi seperti yang dilaksanakan saat ini sebenarnya bertentangan dengan retorika peningkatan partisipasi dan penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Seperti yang diuraikan di atas, berbagai pihak dalam pemerintah pusat dan pendukung kalangan industri meminta pencabutan berbagai undang-undang yang dikeluarkan oleh daerah, revisi undang-undang otonomi dan kembali ke sentralisasi dalam berbagai aspek pemerintah, terutama kehutanan.121 Pihak yang berada di provinsi cenderung menggambarkan berbagai gerakan ini sebagai "taktik Orde Baru" untuk mencabut desentralisasi secara keseluruhan dan kembali mengambil alih kekuasaan atas sumber daya berharga dan manfaat ekonomi.122 Bagaimana berbagai kekuatan ini akan berjalan masih belum jelas, tetapi para peneliti kehutanan menyatakan bahwa masa depan hutan-hutan di Riau sangat bergantung pada kegiatan APP dan RAPP, yang kebutuhan kayunya yang sangat besar tampaknya di luar jangkauan pengawasan pemerintah daerah manapun, terutama yang masih baru dan tidak berpengalaman.123

Pada masa paska-Soeharto, berbagai perusahaan yang beroperasi di Indonesia mempromosikan berbagai bentuk "hutan kemasyarakatan"-termasuk partisipasi lokal melalui skema usaha bersama-sebagai jawaban atas operasi penebangan yang sarat dengan konflik. Reformasi baru ini menawarkan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha hutan melalui pembentukan koperasi desa (lihat Bab V). Usaha-usaha ini menawarkan potensi pengelolaan hutan yang lebih adil dan bahkan memberikan beberapa manfaat bagi sebagian masyarakat dari ekstraksi hutan. Akan tetapi, praktik seperti ini masih belum mengikutsertakan pengakuan penuh hak-hak masyarakat lokal atas lahan dan belum menyelesaikan persoalan tuntutan atas lahan yang saling tumpang tindih.124 Tanpa adanya perlindungan hak dan bentuk-bentuk perwakilan yang berarti, proyek-proyek kehutanan "masyarakat" tidak berarti akan menghasilkan partisipasi yang lebih adil dalam pengelolaan hutan atau pengakuan hak-hak masyarakat atas lahan. Para kepala desa dan perantara oportunis secara diam-diam sering menegosiasikan perjanjian pribadi dengan para pengusaha untuk menjual lahan masyarakat dan menyimpan keuntungannya sendiri.125

Selain itu, pengawasan yang dilakukan terhadap proyek bersama hanya sedikit karena pengaturannya tampaknya bertumpu pada asumsi yang salah bahwa bagaimanapun juga, keterlibatan dengan (tidak didefinisikan dengan tepat) masyarakat "lokal" pada hakekatnya akan menjamin lingkungan yang berkelanjutan dan keadilan sosial. Akan tetapi, banyak proyek ini yang begitu saja mengulang kesalahan desentralisasi dengan cara memberi kesempatan kepada para elite tanpa memastikan adanya perlindungan, partisipasi, atau keadilan. Tanpa adanya perlindungan seperti itu, pada akhirnya "usaha bersama" dapat menjadi sarana yang cocok bagi para pejabat perusahaan dan pemerintah untuk mengelak dari tanggung jawab pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan konflik sosial dengan mengaku bahwa kedua hal tersebut bukan masalah mereka. "Desentralisasi tanggung jawab" ini mirip dengan gejala yang lebih luas dalam penegakan hukum, yaitu menggunakan "keamanan masyarakat sipil," yang mengarah ke masalah disiplin, kekerasan, dan usaha untuk mengelak dari tanggung jawab atas berbagai pelanggaran.126

Epidemi Protes Masyarakat
Sejak Orde Baru jatuh, masyarakat lokal yang kehilangan lahannya dan merasa tersingkir dari kesempatan bekerja mulai melakukan protes terbuka. Penghitungan secara sistematis jumlah kasus dalam skala nasional sukar untuk dilakukan, tetapi estimasi para aktivis industri dan masyarakat dapat memberikan indikasi cakupan masalahnya. Asosiasi Industri Kehutanan Indonesia memperkirakan bahwa 53 HPH di Papua, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan dipaksa menghentikan operasinya pada tahun 2000 akibat berbagai konflik yang terjadi dengan masyarakat lokal.127 Global Forest Watch melakukan survei terhadap surat kabar di Indonesia dari tahun 1997 hingga 1998 untuk memperkirakan bahwa pada masa itu terdapat kira-kira 4000 kasus konflik antara masyarakat dan industri kehutanan, yang terkonsentrasi di wilayah penebangan dan konversi hutan menjadi perkebunan (lihat Peta D yang terlampir), terutama di berbagai provinsi di Riau dan Kalimantan Tengah, yang merupakan pusat-pusat aktivitas ini.

Dalam penelitian lainnya, para aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyusun berbagai laporan mengenai serangan terhadap para petani lokal atau aktivis dari 19 dinas-dinas di provinsi yang terjadi pada tahun 1998-1999. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik agraria dengan perusahaan telah menyebabkan 18 orang meninggal, 190 orang dipukul, 44 penembakan, 12 penculikan, 775 penangkapan, 275 rumah dibakar, 307.109 hektar kebun dan sawah masyarakat lokal dibakar, 2578 orang diteror atau diintimadasi, 14 orang "hilang," dan satu orang diperkosa. Para aktivis KRA menggunakan laporan-laporan ini untuk menilai lebih lanjut bahwa selama periode tersebut, sektor perkebunan (baik hutan, hutan tanaman industri maupun perkebunan tanaman keras seperti kelapa sawit) paling banyak menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat lokal, dan paling sering melibatkan militer atau polisi untuk intimidasi dan tindakan kekerasan.128 Pernyataan ini dihasilkan lewat penelitian yang berbeda, di mana organisasi lingkungan Indonesia LATIN menyusun berbagai laporan tentang konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan hutan di Kalimantan saja. Penelitian ini memperkirakan pada periode tahun 1990-1999 terdapat 8741 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap anggota masyarakat yang terkait dengan HPH, 5757 kasus terkait dengan HTI untuk pulp dan kayu, 3907 kasus terkait dengan perkebunan milik negara, dan 405 kasus terkait dengan perkebunan kelapa sawit atau tanaman perkebunan lainnya.129

Data spesifik dari berbagai penelitian ini tidak dapat dikuatkan dengan bukti-bukti oleh HRW, tetapi dikutip di sini sebagai indikasi bahwa konflik yang terkait dengan industri kehutanan dan masyarakat pedesaan merupakan hal serius yang sering terjadi dan meluas secara geografis.

Berbagai protes terutama sering terjadi seputar industri pulp dan kertas, dan berpusat pada pengaduan yang hampir serupa di seluruh Indonesia. Masyarakat lokal mengadu bahwa mereka menderita akibat:

• Kehilangan lahan karena diintimidasi oleh aparat keamanan negara, tanpa ada jalan keluar atau tanggapan pemerintah atas pengaduan mereka, ganti rugi (kalau ada) diberikan kepada pemimpin desa atau kabupaten yang korup;
• Kerusakan lingkungan, termasuk penebangan hutan dan polusi atau penyusutan ketersediaan air:
• Keterbatasan akses ke lapangan kerja, upah yang rendah dan ketentuan kerja yang tidak memberi ketentraman;
• Perundingan yang tidak jujur pada saat penyelesaian perselisihan, kurangnya transparansi;
• Keterbatasan akses terhadap manfaat kegiatan ekstraksi sumber daya, berbagai program pengembangan masyarakat dilaksanakan tanpa perundingan yang sepatutnya dengan masyarakat;
• Pelanggaran hak mengeluarkan pendapat, berkumpul, dan berasosiasi, di saat protes ditekan, kerap kali dengan kekerasan.

Sebagai indikasi penolakan masyarakat luas atas industri pulp raksasa saja, sebuah sampel dari berbagai surat kabar lokal dalam beberapa tahun terakhir menggambarkan maraknya aksi-aksi tersebut di seluruh provinsi (untuk contoh-contoh nasional, lihat juga bab berikutnya):

• Bulan Mei tahun 1999: Perselisihan tentang hak masyarakat terhadap kayu hutan menyebabkan masyarakat memblokir jalan Arara Abadi, Beringin, Kabupaten Siak. (Utusan 1 Mei, 1999). Wawancara HRW dengan pemimpin masyarakat di Beringin (3 Februari, 2002) melaporkan bahwa pemblokiran ini juga menimbulkan serangan yang dilakukan oleh 300 Pam Swakarsa Arara Abadi yang menggunakan tongkat pemukul:

Mereka mengejar masyarakat yang berada di lokasi pemblokiran dan mengancam akan membunuh semuanya. Mereka menghancurkan jendela-jendela rumah. Mereka memukul beberapa orang yang berada di pos dengan menggunakan tongkat pemukul kayu - Salah seorang dipukul di kepala sampai berdarah, dan seseorang di antara kerumunan pegawai perusahaan memberikan alat P3K. Pam Swakarsa tidak memakai seragam, tetapi penduduk melaporkan bahwa semua orang mengenal mereka karena sudah pernah melihat mereka sebelumnya di perusahaan. Lebih jauh lagi, penduduk mensalah seorang manajer senior dari lokasi kamp Perawang berada di sana mengarahkan serangan tersebut.130

• April 1999: Sengketa lahan menyebabkan masyarakat memblokir truk-truk Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Kabupaten Kampar, Langgam. (Riau Pos, 19 April, 1999).
• Agustus 1999: Sengketa lahan dan pengingkaran janji perusahaan untuk membantu pembangunan masyarakat menyebabkan masyarakat memblokir jalan Arara Abadi, Kabupaten Kampar, Palangkalan Kuras (Riau Pos, 27 Agustus, 1999).
• Juni 2000: Sengketa lahan menyebabkan para anggota masyarakat, secara ilegal, menebang pohon-pohon akasia yang ditanam Arara Abadi pada lahan yang dipertentangkan yang berada di Cemerlang, kabupaten Minas. (Riau Pos, 3 Juni, 2000).
• Oktober 2000: Sengketa lahan menyebabkan masyarakat memblokir truk-truk penebangan RAPP, Kabupaten Kuansing, sektor Cerenti. (Pekanbaru Pos, 15 Oktober, 2000).
• Juli 2001: Sengketa lahan menyebabkan masyarakat menahan duapuluh truk RAPP di kecamatan Kuantan Tengah, sektor Cerenti. (Riau Pos 27 Jul, 2001).
• Februari 2001: Sengketa lahan menyebabkan koperasi desa Pantiacermin menebang pohon yang terdapat di lahan yang dinyatakan sebagai hak Arara Abadi. Ratusan anggota keamanan perusahaan Arara Abadi menangkap 60 penebang, yang kemudian dilepas, dikatakan dalam pers karena mereka memiliki izin yang sah. Penebang tersebut melaporkan kepada pers bahwa mereka dipukul waktu ditangkap. Arara Abadi menyangkal telah melakukan serangan tersebut. (Riau Pos 26 Februari, 2001).

Dengan meningkatnya tekanan ekonomi, frekuensi konflik tampaknya juga semakin meningkat, walaupun sama sekali bukan hal yang baru. Kombinasi yang sama antara intimidasi, intrik ekonomi militer, tidak adanya penegakan hukum yang efektif, kebebasan hukuman bagi para pelanggar, perluasan industri yang tidak terkendali menimbulkan kekacauan yang berubah-ubah di Riau, telah lama terjadi di wilayah-wilayah lain yang menjadi lokasi operasi utama pulp dan kertas. Salah satu contoh yang terkenal adalah Indorayon, pabrik pulp, kertas, dan rayon di provinsi Sumatera Utara milik conglomerat raksasa lain, Raja Garuda Mas.131 Pada tahun 1984, Indorayon menerima izin permulaan untuk pabriknya di Sumatera Utara,atas dukungan gubernur dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Seperti dalam keadaan lainnya, masyarakat mulai tidak puas setelah lahan mereka disita tanpa ada ganti rugi. Para wanita sangat merasakan pengaruhnya terhadap mata pencaharian pertanian mereka. Pada tanggal 1 Februari 1990, sepuluh wanita lokal yang sudah tua, yang berasal dari desa Sugapa, Sumatera Utara, ditangkap dan dihukum enam bulan penjara karena merusak perkebunan pohon eucalyptus supaya mereka dapat menanam tanaman pangan di lahan yang mereka anggap sebagai lahan nenek moyang mereka. Menurut penduduk lokal, Indorayon telah mengambil lahan mereka secara ilegal dengan cara bersekongkol dengan para pemimpin lokal kecamatan dan desa, yang telah menjual lahan 62 keluarga secara ilegal.132

Berbagai protes timbul karena pencemaran udara dan air yang diduga disebabkan oleh kegiatan pabrik. Kondisi yang semakin memburuk membuat masyarakat lokal mulai memblokir jalan menuju pabrik pada bulan Mei tahun 1998. Pada bulan Maret 1999, para aktivis lingkungan lokal dari WALHI, yang mengikuti berbagai protes tersebut dari dekat, melaporkan bahwa polisi dipanggil untuk mengatasi protes tersebut. Namun dalam insiden ini tujuh orang ditembak polisi, salah seorang meninggal dunia saat itu juga; 90 orang diduga diculik dan disiksa atau dianiaya, salah seorang kemudian meninggal di rumah sakit akibat luka-luka; dua orang "menghilang" dan dianggap mati, lima menajdi buta atau pincang akibat luka-luka; tujuh rumah atau toko dirusak.133 Setelah itu, empat pegawai pabrik diculik berturut-turut; tiga di antaranya dibunuh.134 Akhirnya, teriakan masyarakat memaksa Presiden di masa transisi, Habibie, menutup pabrik hingga audit operasi yang transparan dan hubungan dengan masyarakat lokal dapat dilakukan.135

Walaupun audit tersebut kelihatannya tidak diselesaikan, hutang Raja Garuda Mas yang besar (di antaranya 2 miliar dolar AS hutang yang dibebani APRIL) dari perusahaan perseroan APRIL menimbulkan tekanan yang sangat besar untuk kembali membuka pabrik. Laporan akhir-akhir ini menyatakan bahwa APRIL berencana untuk menutup pabrik rayon sebagai usaha untuk memperoleh dukungan masyarakat untuk membuka kembali pabrik pulp yang lebih menguntungkan (dengan nama yang baru, PT Toba Pulp Lestari).136 Para aktivis regional mengeluh dan masyarakat protes dan wawancara Human Rights Watch dengan para analis keamanan menegaskan bahwa hanya sedikit tindakan perusahaan untuk menangani keluhan masyarakat sehingga konflik yang lebih banyak tampaknya akan terjadi.137 Di masa lampau, masyarakat lokal berjanji bahwa jika negara memaksa pembukaan kembali pabrik, "Setiap truk yang lewat akan dilempari batu dan mungkin dibakar. Ini adalah perang."138

Gambaran ringkas tersebut bukan bertujuan untuk memberikan analisis yang lengkap mengenai konflik-konflik tersebut, tetapi untuk melukiskan lingkup dampak cara operasi perkebunan-perkebunan secara nasional. Ada kemiripan yang jelas dalam hal hubungan dengan masyarakat lokal, berbagai keluhan yang diderita masyarakat, dan protes serta kekerasan yang tidak dapat dihindarkan. Lemahnya penegakan hukum menimbulkan intervensi pekerjaan perlindungan dan provokasi, yang diduga menghasut masyarakat untuk melakukan protes dan tindakan perusakan dan menuntut uang dari perusahaan (lihat Bab VI di bawah).139 Perkembangan ini tidak saja mempengaruhi kondisi umum hukum dan peraturan negara dan siklus kekerasan di Indonesia, tetapi juga memacu tindakan keras terhadap para aktivis sebagai "provokator" dan penindasan terhadap bentuk-bentuk protes yang sah.

Sejak masa pemerintahan Soeharto berakhir, terjadi berbagai perubahan positif yang menimbulkan peluang untuk menghormati hak-hak atas lahan asli dan keadilan dalam hal partisipasi dalam pengelolaan hutan, sekaligus pengelolaan yang lebih baik. Akan tetapi, sampai sekarang, berbagai peluang ini masih perlu digunakan sebaik mungkin supaya menghasilkan reformasi yang bermakna. Sebenarnya, dalam berbagai hal, situasi saat ini lebih berbahaya bagi masyarakat yang bergantung pada hutan dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar